Kupang (ANTARA News) - Ketika hari mulai sore, para pedagang mulai merapikan tempat jualannya untuk menyajikan beraneka macam kue, minuman ringan, es buah serta beraneka jenis makanan lainnya menjelang umat muslim berbuka puasa.

Trotoar di tepian Katedral Kristus Raja dan Bank Mandiri Kupang yang terletak di Jalan Ir Soekarno itu ramai dipadati pengunjung, baik yang muslim maupun non muslim, ketika mentari merangkak perlahan menuju keperaduannya.

Ruas jalan Ir Soekarno, terutama di depan Katedral Kristus Raja Kupang sampai ke Bank Mandiri dan Telkom Plaza menjadi macet karena padatnya arus lalu lintas, terutama kendaraan roda dua dan empat yang mampir sebentar di Pasar Ramadhan itu.

"Itu Pasar Ramadhan yang baru dibuka khusus untuk menyambut bulan puasa. Jika ada umat muslim yang tak sempat buka puasa bersama keluarga, bisa langsung menikmati di Pasar Ramadhan, atau membeli jajan di tempat itu untuk buka bersama keluarga di rumah," ujar Sulaiman Kopong (37), seorang warga Kota Kupang kelahiran Flores Timur.

Beraneka ragam kue dan jajanan yang disajikan itu, terkesan menggoda selera setiap orang yang melintas di kawasan tersebut. "Enak juga menikmati es buah sambil cuci mata di sini," komentar Paulus Tadon (30), salah seorang pegawai swasta di Kupang.

Pasar Ramadhan di trotoar tepian Gereja Katolik Kristus Raja Kupang dan Bank Mandiri itu merupakan pengembangan dari pasar senja yang sebelumnya dibuka para pedagang dari Kelurahan Air Mata Kupang di seberang jalan Kantor Bupati Kupang.

Kawasan itu terkenal dengan Jajan Air Mata (JAM), karena diproduksi oleh para pedagang dari Kelurahan Air Mata. Kawasan itu masih tetap saja ramai meski sudah berkembang ke arah Katedral Kristus Raja dan Bank Mandiri Kupang.

JAM mulai berkembang pada masa pemerintahan Gubernur NTT Herman Musakabe (1993-1998). Ketika itu, isteri sang gubernur, Jeanette Agnes Musakabe, berupaya memberdayakan para pedagang, khususnya kaum ibu rumah tangga dari Kampung Air Mata lewat penjualan jajan tersebut.

Beraneka ragam kue dan makanan ringan lainnya disajikan di atas kereta dorong itu. Lezatnya JAM inilah yang kemudian menjadi pusat perhatian umat muslim di Kota Kupang dan sekitarnya saat buka puasa.

Saat menjelang buka puasa, kawasan itu padat dengan pengunjung. Ada yang langsung buka di tempat itu, ada pula yang hanya membeli jajan untuk buka bersama keluarga di rumah masing-masing. JAM menjadi sangat populer bagi masyarakat Kota Kupang dan sekitarnya.

Perkampungan muslim di Kota Kupang, terdapat di Kelurahan Air Mata, Bonipoi dan Kampung Solor. Mereka umumnya pendatang muslim dari Kepulauan Solor di Kabupaten Flores Timur, NTT serta turunan Arab.

Mereka hidup rukun dan damai dalam bingkai kultur bersama umat agama lainnya seperti Katolik dan Protestan, tanpa adanya persoalan.

Pembantu Rektor I Universitas Muhamadiyah Kupang (UMK) Dr Ahmad Atang mengatakan umat muslim di NTT dapat hidup damai dan tenteram di tengah mayoritas orang Katolik dan Protestan, karena telah membangun relasi sosial atas bingkai kultur.

"Orang NTT tidak membangun hubungan atas dasar agama tetapi atas dasar bingkai budaya. Itulah sebabnya umat muslim dapat hidup damai dan tenteram di tengah masyarakat NTT yang mayoritas beragama Katolik dan Protestan," katanya.

Ia menambahkan, "budaya lebih dahulu membentuk nilai sosial orang NTT sebelum masuknya agama-agama di wilayah provinsi kepulauan ini".

"Tak mengherankan, jika dalam satu rumah tangga terdapat keluarga yang berbeda agama. Ada yang Katolik, dan ada pula yang Islam. Situasi ini sudah membudaya dalam kehidupan orang NTT, sehingga tidak bisa dibenturkan melalui perbedaan agama," ujarnya.

Munandjar Widiyatmika, seorang peneliti masuknya agama Islam di NTT dan penulis buku tentang Sejarah Islam di NTT, menyebutkan Islam masuk pertama kali di NTT pada abad ke-15 yang dibawa oleh para pedagang dan ulama dari Palembang di Kepulauan Solor, Kabupaten Flores Timur.

Berdasarkan hasil penelitiannya, ulama dari Palembang yang pertama kali menyebarkan agama Islam di NTT itu adalah Syahbudin bin Salman Al Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga.

Menurut dia, Solor menjadi daerah pertama penyebaran agama Islam di NTT, karena letaknya strategis dengan bandar-bandar penting di Pamangkayo, Lohayong, Menanga dan Labala di Pulau Lembata bagian selatan.

Kawasan itu sangat penting bagi kapal-kapal niaga yang menunggu angin untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Timor dan Maluku serta Flores dan Alor.

Wilayah Kepulauan Solor, merupakan lumbung tanaman cendana terbesar di NTT pada abad itu, sehingga pulau kecil mungil yang terletak di antara himpitan Pulau Adonara, Lembata dan Flores itu menjadi incaran para pedagang dari kawasan Timur Tengah dan Eropa.

Bahkan Portugis sendiri membangun benteng pertahanannya di Pulau Solor karena Solor merupakan daerah yang paling tepat untuk berisiraharat sambil menunggu angin baik untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Timor.

Portugis pada abad itu tidak hanya membawa misi penyebaran agama Katolik di NTT yang dimulai dari Larantuka di ujung timur Pulau Flores, tetapi juga membawa misi dagang untuk mengumpulkan cendana, tanaman beraroma wangi itu ke negaranya.

Pola pendekatan dalam keperintisan penyebaran agama Islam di NTT yang dilakukan Sultan Mananga dari Palembang itu, kata Widiyatmika, menggunakan pendekatan kekeluargaan dan memegang tokoh-tokoh kunci daerah setempat.

Di Solor, misalnya, penyebar agama ini memilih kawin dengan seorang puteri raja Solor bernama Sangaji Dasi dan menjadi orang pertama yang memeluk agama Islam di NTT yang kemudian diikuti oleh seluruh anggota keluarganya.

"Artinya, berkat pengaruh Sangaji Dasi, keluarga dan pengikutnya dengan mudah diajak menjadi pemeluk agama Islam," kata Widiyatmika mencontohkan.

Bahkan untuk kepentingan pengembangan agama Islam di Solor, Sultan Menanga kemudian ditempatkan di perbatasan antara kerajaan Lamakera dan Lohayong dan berhasil membangun kampung muslim pertama di Menanga.

Secara perlahan-lahan, Islam kemudian menyebar ke daerah lain di NTT seperti Alor dan seluruh Flores serta Timor seperti di Kupang dan di Sumba seperti di Waingapu. Tak mengherankan jika banyak muslim di Kupang bernama Arab, seperti Alkatiri dan Aljufri.

Sejak masuknya agama Islam di NTT sampai abad ke-16, para perintis belum tergerak mewujudkan lembaga sosial keagamaan Islam dan lembaga pendidikan Islam sebagai penunjang penyebaran agama, seperti penyebaran agama Islam di Pulau Jawa yang tidak saja ditunjang oleh para wali dan ulama, tetapi juga lewat sistem pendidikan di Pondok Pesantren.

Meskipun demikian, kehidupan umat muslim di NTT tetap dihormati dan dihargai oleh mayoritas orang Katolik dan Protestan, karena umat muslim membangun relasi sosial dengan saudara-saudaranya dari Kristen atas dasar bingkai budaya.

Atas dasar itu, munculnya Pasar Ramadhan di trotoar Jalan Ir Soekarno di depan Gereja Katolik Kristus Raja Kupang itu sebagai sebuah simbol nyata bahwa kerukunan hidup antarumat beragama dan antaragama di NTT tidak perlu diragukan lagi, sebab mereka diikat dalam sebuah bingkai budaya yang hakiki.

Pewarta: Laurensius Molan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013