... lampu merah di jalan raya mereka mau berhenti. Tapi kenapa dengan sirine dan pintu perlintasan kereta api, mereka tetap nekad melintas?... "
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah kendaraan melintas di pintu perlintasan kereta api Permata Hijau, Jakarta Selatan. Sirine yang meraung-raung dan palang pintu yang menutup tak membuat beberapa pengendara ragu untuk tetap melintas.

Pesan dari raungan sirene memekakkan telinga dan palang pintu yang menutup jalur itu jelas: jangan coba-coba melintas, ada kereta akan lewat sebentar lagi, dan itu bisa membahayakan jiwa pelintas yang tetap nekad. 

Di pos penjagaan, Animin tak ragu meniup peluit untuk memperingatkan pengendara yang nekad melintas meskipun kereta api akan segera melintas.

"Tak jarang saya menegur beberapa pengendara yang melintas meskipun pintu perlintasan sudah ditutup. Tanggapannya beragam, ada yang mengejek ada juga yang malah marah-marah," kata Animin.

Seperti halnya pegawai lain PT Kereta Api, Animin juga tak cuti pada Idul Fitri 1434 H. Sebagai petugas Pengaman Jalan Lintas, tugasnya adalah memastikan perjalanan kereta api aman saat melewati perlintasan.

Menurut Undang-undang Nomor 23/2007 tentang Perkeretaapian, masyarakat memang harus mendahulukan perjalanan dan keamanan kereta api. 

Karena itu, PT KA maupun masinis tidak bisa disalahkan apabila ada kejadian orang atau kendaraan yang tertabrak kereta api saat isyarat jangan melintas sudah dioperasikan. Atau saat petugas sudah berusaha menghentikan pelintas di persimpangan rel kereta api dan jalan raya. 

Karena itu, dia kadang sering merasa heran dengan perilaku para pengguna jalan. Mengapa pengguna jalan lebih patuh dengan lampu pengatur lalu lintas dibandingkan.

"Kalau lampu merah di jalan raya mereka mau berhenti. Tapi kenapa dengan sirine dan pintu perlintasan kereta api, mereka tetap nekad melintas?" dia tidak henti bertanya.

Sudah sering dikabarkan di media massa: mobil berisikan supir dan pengikut atau sepeda motor dan pengendaranya hancur lebur ditabrak kereta api. Seperti itupun masyarakat tetap nekad, menerobos walau dengan resiko nyawa melayang selamanya.  

Bersama dua petugas PJL lain serta dua tenaga kontrak PT KA, dia tetap setia menjaga pintu perlintasan Permata Hijau meskipun tak bisa menikmati Lebaran bersama keluarga.

"Kadang saya ingin juga bisa berlebaran bersama keluarga. Tapi karena memang tugas, ya saya jalani saja. Yang penting saya tetap sehat dan selamat," tuturnya.

Meskipun harus membuyarkan impian berlebaran bersama keluarga, pria 54 tahun itu tetap bersyukur, selama puluhan tahun menjaga pintu perlintasan tidak pernah ada kejadian berarti saat Lebaran.

Istri, lima anak, dan empat cucu seperti sudah biasa tidak sungkeman dengan kakek dan ayah mereka. Tugas adalah tugas, walau Lebaran sudah menjelang setelah sebulan penuh berpuasa. 

Kantuk adalah musuh utamanya saat menjaga pintu perlintasan, apalagi saat Lebaran situasi Jakarta dan kereta api relatif sepi.

"Kalau ngantuk ya saya berdiri dan wira-wiri saja. Kalau duduk, sudah pasti ngantuk," ujarnya.

Meskipun harus bertugas saat Lebaran, dia juga masih bersyukur karena PT KA tetap memberikan kesejahteraan yang memadai bagi karyawannya. Lebaran tahun ini, seluruh karyawan PT KA mendapat tunjangan hari raya dan "uang ketupat" perhari.

"Direksi yang sekarang cukup baik dalam memikirkan kesejahteraan karyawan. Tapi sekarang semua karyawan PT KA juga tetap harus membayar tiket kalau naik kereta," katanya. 

Saat Lebaran dia juga tidak terlalu merasa kesepian. Pasalnya, warga Perumahan Permata Hijau dan beberapa perusahaan yang ada di sekitarnya kerap memberikan bingkisan Lebaran.

"Ada saja yang memberikan bingkisan berisi gula, teh, beras dan lain-lain," ujarnya.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013