Jakarta (ANTARA News) - "Kami siap menerima dan menyalurkan zakat fitrah/mal anda di bulan Ramadhan ini; Mari zakati harta anda di masjid kami; Zakat di bulan suci Ramadhan mensucikan hati." Demikian tulisan spanduk di sejumlah masjid di bulan suci Ramadhan.

Ajakan untuk berzakat seperti itu sungguh mulia, apalagi masjid digunakan sebagai pengumpul dan distributor zakat. Hanya saja kegiatan itu hanya dilaksanakan di bulan Ramadhan. Padahal, pengelolaan zakat, infak, shodaqah dan wakaf (ZISKAF) sesungguhnya bisa dilakukan sepanjang tahun dan tidak hanya pada bulan Ramadhan.

Tidak banyak masjid yang memfungsikan diri sebagai amil zakat sepanjang tahun. Dibanding dengan masjid-masjid yang hanya pengumpul zakat di bulan Ramadhan, jumlah masjid yang menjadi amil sepanjang tahun ini jauh lebih sedikit.

Sejauh pengamatan penulis, hanya masjid di ibu kota propinsi dan masjid agung tingkat kabupaten atau kota yang sudah menjadi amil zakat sepanjang tahun.

Masjid di sebagian besar kota di Indonesia, kecamatan maupun desa, umumnya masih menjadi panitia zakat hanya di bulan Ramadhan. Itupun masih sebatas panitia Zakat Fitrah. Ghalibnya juga, selama ini masjid lebih banyak difungsikan sebagai tempat ibadah mahdlah belaka untuk jamaah shalat lima waktu, berdzikir, tadarrus, dan ceramah agama.

Padahal, jika merujuk pada sejarah Nabi Muhammad SAW, masjid ditempatkan sebagai episentrum peradaban Muslim. Sebagai episentrum peradaban, selain pusat kegiatan spritual (ibadah mahdlah), juga dapat dijadikan sebagai pusat dakwah Islamiyah, pusat kegiatan sosial, pusat pendidikan, pusat ekonomi, dan sejumlah kegiatan yang lain. (Prof. Mariyono: 2015).

Di bulan Ramadhan ini, sejatinya masjid dapat dimaksimalkan fungsi sosialnya sebagai pengelola zakat profesional. Seperti disebut dalam UU. No. 23 Tahun 2011, masjid bisa difungsikan sebagai lembaga amil zakat (LAZ) atau unit pengumpul zakat (UPZ) yang membantu BAZNAS di negeri ini untuk mengumpulkan dan mendayagunakan ZISKAF.

Apalagi, jika ide menggunakan masjid sebagai UPZ direalisasikan, maka kegiatan itu akan membantu perolehan zakat secara nasional yang pada tahun 2015 mencapai Rp4,22 triliun dan di tahun 2016 ini diperkirakan naik 30 persen, yaitu mencapai Rp5,46 triliun.

Setidaknya terdapat beberapa tantangan yang dihadapi masjid-masjid tatkala akan dijadikan sebagai LAZ atau UPZ, yakni sebagaimana berikut:

Pertama, kurangnya kesadaran Muslim secara umum tentang kewajiban zakat, terutama zakat mal. Sebagian besar Muslim memandang bahwa yang wajib hanyalah zakat fitrah. Oleh karena itu, mayoritas Muslim berbondong-bondong berzakat fitrah pada bulan Ramadlan dan hari raya Idul Fitri saja.

Bahkan sebagian besar Muslim beranggapan bahwa zakat mal juga harus ditunaikan pada bulan Ramadhan. Padahal, zakat mal memiliki aturan yang mandiri dan berbeda dengan zakat fitrah. Pelaksanaan zakat mal bisa dilakukan tidak hanya di bulan Ramadhan.

Kedua, kesadaran berhaji misalnya lebih merata dan lebih meluas serta lebih menarik dari pada kesadaran untuk berzakat, berinfaq, bershodaqah dan juga berwakaf.

Kita sering menjumpai orang yang berhaji berkali-kali, namun mengabaikan kewajiban zakatnya. Padahal, kewajiban berhaji hanya satu kali, sementara kewajiban berzakat berulangkali sejauh memenuhi nishabnya dan syarat-syarat wajib zakat yang lain. Karena itu, aneh jika kesadaran berhaji mengabaikan kesadaran berzakat bagi seorang Muslim.

Ketiga, umumnya di sekitar masjid terdapat banyak jumlah orang miskin, anak yatim, dan sebagainya seiring dengan banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia yang mencapai 27,73 juta orang atau 10,96 persen. Umumnya pula jumlah orang miskin ini menyebar di kantong-kantong pedesaan yang juga berada di sekitar masjid.

Adalah sangat ironis membiarkan kemiskinan terjadi di sekitar masjid, padahal agama memerintahkan kita untuk mengentaskan kemiskinan pada dluafa yang Muslim. Masjid harus menjadi pioner dan berada di garda terdepan untuk menyejahterakan dan memakmurkan umatnya.

Keempat, ada persyaratan administratif yang ketat sebagaimana dituntut dalam UU. No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Misalnya amil harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang, harus berbadan hukum, dan sebagainya.

Seperti disebut dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi undang-undang ini, bahwa frasa "setiap orang" dalam Pasal 38 undang-undang No. 23 ini "mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus takmir masjid/mushalla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang."

Dengan demikian, persyaratan yang ketat sebagaimana disebut dalam UU. No. 23 Tahun 2011 ini, secara de jure telah dinasakh oleh amar putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi kelonggaran bagi masjid, salah satunya untuk menjadi amil zakat.

Masjid hanya diberi persyaratan minimal: memberitahukan pengelolaan zakat di masjidnya kepada pejabat yang berwenang (kepala desa/camat/bupati).

Amar putusan MK ini dibuat agar memberi keluasan pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan zakat, namun tetap dalam pengawasan negara agar dana zakat tidak diselewengkan dan tetap "on the right track".

Walhasil, masjid harus segera mengambil peran sebagai "pengelola zakat" profesional sepanjang tahun. Sebagaimana disebut Yusuf Qardlawi dalam Fiqh az-Zakat, peran sosial zakat harus digerakkan (1973), dan yang mengambil peran itu adalah masjid-masjid kita.

Mengandaikan masjid hanya menjadi "amil zakat fitrah" yang setahun sekali ini tidak banyak diharapkan dalam ikut serta mengentaskan kemiskinan umat, karena zakat fitrah di bulan Ramadhan hanya bersifat karitatif, yakni "mengentaskan kemiskinan di hari yang fitri saja".

Sabda Rasulullah SAW sangat jelas: "ughnuhum anithawafi fi hadzal yaumi. (HR. Daruquthni dan Baihaqi). Artinya: "Berilah mereka itu kecukupan makanan pada hari raya ini agar mereka tidak berkeliling mencari makanan".

Jika pada hari raya diperintah untuk mencukupi makanan orang-orang yang disebut "atsnafus tsamaniyah" (delapan golongan yang berhak), yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, budak, gharim (orang yang berhutang), sabilillah (orang yang berperang di jalan Allah) dan ibnu sabil (musafir), maka apalagi jika kecukupan makanan ini berlangsung selamanya.

Dengan kecukupan ini mereka tidak lagi masuk ke dalam delapan golongan tersebut. Mereka tidak lagi menjadi mustahiq (orang yang berhak mendapat zakat), namun sudah berubah menjadi muzakki (orang yang memberi zakat).

Adalah sebuah keniscayaan menjadikan masjid-masjid kita sebagai amil yang profesional sepanjang tahun. Karena di amil inilah zakat-zakat itu dapat ditasharufkan secara maksimal dan juga tepat sasaran. Amil zakat dari masjid ini pula yang dapat mengelola dana-dana zakat secara produktif sehingga menggerakkan jaring ekonomi mustahik zakat.

Khusus untuk tujuan pengentasan orang miskin, memang dana zakat harus dialokasikan untuk program-program yang produktif sehingga lebih memberdayakan ekonomi orang fakir dan miskin.

Bukan tidak boleh orang berzakat langsung diberikan pada mustahiqnya, namun, orang yang berzakat (muzakki) tersebut tidak bisa berbuat banyak pada harta zakatnya selain hanya memberikan hartanya secara konsumtif dan karitatif belaka.

Padahal, pengentasan kemiskinan tidak bisa diselesaikan dengan cara konsumtif maupun karitatif per se. Oleh karena itu, berzakat melalui amil zakat yang profesional, utamanya di masjid nampak akan lebih amanah dan tepat sasaran. Wallahualam.

*)Penulis adalah Konsultan Zakat AZKA Masjid al-Baitul Amien Jember, Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember, Pengurus Majlis Ulama Kabupaten Jember, Wakil Ketua PW Lajnah Ta lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur, dan Katib Syuriyah NU Jember
(A015/M026)

Pewarta: Dr MN Harisudin, M Fil I*)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016