Rabu (27/4) malam selepas Shalat Tarawih, Masjid Istiqlal masih saja ramai. Ada yang melanjutkan kegiatan seperti membaca ayat suci Al Quran, ada pula yang kembali menggelar sajadah di pelataran keramik untuk dijadikan alas dalam melepas lelah.
Saat ini menjadi tahun pertama pada masa pandemi COVID-19 Masjid Istiqlal kembali dibuka bagi masyarakat umum yang ingin beribadah. Sukacita tergambar dari penuhnya lantai utama oleh mereka yang beribadah sejak berbuka puasa, Shalat Maghrib, hingga Tarawih pada awal-awal Ramadhan 1443 Hijriah.
Pun demikian, pada 10 hari terakhir Ramadhan ini, umat muslim di sekitar Ibu kota berbondong-bondong memadati masjid kebanggaan masyarakat Indonesia itu untuk menjemput Lailatul Qadar.
Ada yang memang sengaja tidur di Istiqlal sembari menunggu hingga sepertiga malam, ada pula yang datang secara dadakan sejak pukul 00.00 WIB.
Dibukanya Istiqlal ini menjadi pelepas rindu. Rindu yang dua tahun mesti dibendung karena Istiqlal terpaksa harus ditutup, imbas dari pandemi COVID-19 yang sangat tinggi. Kini rasa dahaga itu terbayarkan sudah, Istiqlal menggelar "karpet merah" bagi siapa saja yang ingin berserah diri kepada Sang Pencipta.
Pada Ramadhan tahun lalu, Istiqlal memang dibuka untuk sejumlah kegiatan ibadah Ramadhan, namun kapasitasnya sangat terbatas, hanya sekitar 2.000 orang. Langkah itu mesti diambil guna meminimalisir penularan COVID-19.
Kini kapasitas sudah dibuka lebar. Dari 250 ribu total kapasitas masjid, Masjid Istiqlal terbuka bagi 100 ribu orang jamaah. Pengurus sengaja tidak membuka sepenuhnya karena masih dalam suasana pandemi serta menghindari penumpukan.
Kendati demikian, terlepas dari berapapun kapasitas yang dibuka, bisa melaksanakan berbagai aktivitas ibadah di Istiqlal tanpa harus dibatasi, patut untuk disyukuri dan dirayakan.
"Kerinduan jamaah terhadap Istiqlal ini kita harus kupas tuntas," seru Imam Besar Masjid Istiqlal dalam ceramah tarawih saat awal Ramadhan 1443 Hijriah.
Tak boleh dilewatkan
Zain Mumtaz (14) tentu tak ingin melewatkan Ramadhan 1443 Hijriah ini dengan aktivitas yang biasa saja. Ia tahu bahwa 10 malam terakhir Ramadhan merupakan malam yang begitu istimewa, sehingga layak untuk diperjuangkan.
Ia datang tak sendiri, bersama tiga orang sahabatnya; Roby Wijaya (14), Atha Amanuallah Hafiz (9), dan Galih Saputra (7), serta tentunya dibimbing guru ngaji, mereka tak pernah absen datang ke Istiqlal demi menjemput Lailatul Qadar.
Saat ditemui, mereka tengah membaca Al Quran sesekali bercanda antara satu sama lainnya jika dirasa harus jeda. Bocah asal Johar Baru, Jakarta Pusat, itu bercerita orang tua mereka tak khawatir pada setiap aktivitas yang akan mereka lakukan. Bahkan orang tuanya selalu memesankan angkutan online saat waktu menunjukkan pukul 12 malam.
"Kadang dianterin dulu pake motor oleh Bapak," Roby menyahut.
Untuk masalah sahur, mereka tak perlu merisaukannya sebab pengurus Masjid Istiqlal menyediakan makan sahur bagi mereka yang itikaf.
Kerinduan akan Istiqlal juga dirasakan Dedi Wijaya. Warga asal Serang, Banten, ini bahkan menyewa kos-kosan di sekitar Pasar Baru agar bisa menghabiskan waktu 10 hari terakhir Ramadhan di Istiqlal.
Pada tahun-tahun sebelum pandemi, Dedi beserta keluarga rutin melaksanakan itikaf di Istiqlal. Namun sejak dua tahun terakhir, ritual tersebut mesti ditahan dulu imbas pandemi COVID-19.
"Semoga perjalanan ini menjadi berkah untuk saya serta yang lainnya. Ramadhan itu bulan yang penuh berkah dan saya yakin akan hal itu," kata dia.
Lailatul Qadar
Pendakwah Habib Ahmad Al Kaff sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Hikmatun Nuur Jakarta Timur menjelaskan Ramadhan diberikan khusus untuk umat Nabi Muhammad SAW yang di dalamnya terdapat malam Laiatul Qadar.
"Ketika seseorang berada di dalamnya dalam keadaan sedang beribadah, maka amalnya akan dilipatgandakan lebih dari 1.000 bulan," demikian penjelasannya dalam Mimbar Ramadhan Masjid Istiqlal pada Minggu (24/4).
Secara umum, kata dia, tanda-tanda Lailatul Qadar tidak diberikan oleh Allah Swt. secara tepat. Hanya saja Rasulullah saw. menggarisbawahi bahwa saat malam Lailatul Qadar kurang lebih tandanya ialah malam terlihat jernih dan keesokannya matahari tidak muncul dengan cahayanya yang jelas.
Menurutnya, Allah Swt. sengaja tidak dijelaskan secara detail kapan waktu datangnya, agar umat Muslim terus semangat di setiap malam Ramadhan. Yang terpenting, kata dia, perlu meyakini bahwasannya malam Lailatul Qadar terdapat di bulan Ramadhan, sesuai dengan firman dalam Al Quran surat Al-Baqarah ayat 185.
"Ketika malam Lailatul Qadar tersebut, orang-orang yang mencari rahmat Allah Jalla Jalaluhu otomatis bergetar hatinya dan ingin bermunajat kepada Allah Jalla Jalaluhu, ingin memperbanyak ibadah, mementingkan akhirat lebih daripada dunia,"
Maka dari itu, ia mengajak umat Muslim untuk memperbanyak doa disertai kerendahan hati demi memperoleh Ridha Allah Swt. Selain itu, Ramadhan mendorong diri manusia untuk berpikir sejenak akan dosa yang terjadi masa lalu, disertai perubahan diri ke arah yang lebih baik.
"Jangan berbangga dengan kegiatan yang diisi ngobrol, bergunjing. Rasulullah saw. mengajak kita untuk Shalat Tarawih yang tidak ada di bulan-bulan lainnya. Ketika berada di penghujung Ramadhan, marilah kita bertafakur, beribadah di masjid," kata Habib Ahmad dalam ceramahnya.
"Jangan berbangga dengan kegiatan yang diisi ngobrol, bergunjing. Rasulullah saw. mengajak kita untuk Shalat Tarawih yang tidak ada di bulan-bulan lainnya. Ketika berada di penghujung Ramadhan, marilah kita bertafakur, beribadah di masjid," kata Habib Ahmad dalam ceramahnya.
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2022