Jakarta (ANTARA) - Badan sepak bola dunia FIFA dan federasi sepak bola Asia AFC sudah mengungkapkan simpati, duka dan solidaritasnya kepada Indonesia dalam kaitan tragedi yang menewaskan 131 orang di Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu, 1 Oktober silam, usai pertandingan Arema F melawan Persebaya.

Tetapi badan sepak bola Eropa (UEFA) melangkah lebih jauh dengan menyatakan setiap pertandingan sepak bola dalam naungan UEFA pekan ini mesti didahului mengheningkan cipta demi mengenang korban Tragedi Kanjuruhan, sekaligus solidaritas kepada Indonesia dan masyarakat sepak bola Tanah Air.

Keputusan itu sejalan dengan langkah sebagian besar liga sepak bola Eropa satu dua hari sebelumnya yang membuat penghormatan serupa untuk Tragedi Kanjuruhan.

Waktu itu para pemain klub-klub besar Eropa yang memiliki basis penggemar besar di Indonesia, mengenakan pita hitam pada lengan mereka.

Sungguh unjuk solidaritas nan agung yang diperlihatkan komunitas sepak bola Eropa kepada Indonesia. Pemandangan ini juga terjadi di beberapa wilayah lain, kendati tak sekolosal di Eropa.

Sekalipun tak ada pernyataan resmi dari AFC yang pekan ini juga memiliki jadwal pertandingan sepak bola kontinental dalam ajang Piala AFC, beberapa turnamen spontan melakukan hal serupa dengan Eropa.

Di Kuwait, misalnya, pemain-pemain timnas futsal Indonesia dan Taiwan serta wasit mengheningkan cipta sebelum pertandingan Piala Asia Futsal 2022 digelar Minggu, 2 Oktober.

Di antara semua itu, hanya UEFA yang melakukannya dalam skala besar.

Pada Selasa, 4 Oktober lalu, badan sepak bola Eropa itu mengumumkan bahwa "Hari ini UEFA mengumumkan bahwa hening sejenak akan diadakan sebelum kikcoff demi mengenang korban peristiwa tragis di Stadion Kanjuruhan di Indonesia."

Momen hening sejenak ini akan dilakukan dalam semua pertandingan UEFA pekan ini (Liga Champions, Liga Europa, Liga Conference Europa dan playoff Piala Dunia Putri).

Momen itu bukan hanya tanda solidaritas dan unjuk simpati Eropa kepada Indonesia, namun juga momen teramat langka yang mungkin hanya kalah ketika terjadi bencana-bencana besar, seperti gempa bumi dan tsunami, yang juga pernah melanda Indonesia, beberapa tahun lalu.


Terasa istimewa

Unjuk simpati Eropa terasa istimewa karena di sanalah bertarung klub-klub elite nan raksasa di seluruh Eropa yang memiliki penggemar sepak bola di seisi kolong langit yang jumlahnya bisa lebih dari satu miliar manusia.

Klub-klub di benua itu bukan lagi semata milik penggemar di negara asal mereka, tetapi sudah menjadi milik global, termasuk para penggemar sepak bola di Indonesia.

Taruhlah 10 klub sepak bola yang memiliki penggemar terbanyak di dunia; Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Paris Saint Germain, Chelsea, Juventus, Liverpool, Bayern Muenchen, Manchester City dan Arsenal.

Jika media sosial menjadi ukuran, klub-klub itu total memiliki 1,39 miliar follower.

Itu baru 10 klub, belum termasuk puluhan klub lainnya yang tengah bertanding dalam Liga Champions, Liga Europa, dan Liga Conference Europa, pekan ini, yang terakhir berlangsung Jumat dini hari WIB tadi.

Bayangkan efek besar yang dibawa dari momen sesaat yang membuat ratusan juta, yang bahkan mungkin miliaran pasang mata pendukung klub-klub elite Eropa di seluruh dunia serempak melihat untuk kemudian mencari tahu apa yang sedang terjadi di Indonesia.

Ada momen besar, namun syahdu manakala para pemain bergandengan tangan, termasuk bintang-bintang, seperti Lionel Messi, Neymar, Cristiano Ronaldo, Erling Haaland, Robert Lewandowski, hening sejenak, sebelum menyepak bola demi mengenang korban tragedi di Malang itu.

Spanduk-spanduk bernada simpati dan solidaritas dari penggemar mereka dibentangkan di dalam stadion-stadion sepak bola yang tak hanya ikonik di Eropa namun juga terkenal di dunia, seperti Allianz Arena, San Siro, Anfield, Stamford Bridge, Stadion Etihad, Santiago Bernabeu, Amsterdam ArenA, Juventus Stadium, hingga Stadion Olimpiade Roma.

Di stadion-stadion itu, termasuk yang tak begitu dikenal di Indonesia seperti Estadio do Drago di Portugal atau Stadion Salzburg di Austria, tulisan "in memory of the victims at Kanjuruhan Stadium in Indonesia" dipampang dalam papan elektronik yang bersamaan dengan versi Bahasa Indonesia-nya "Untuk mengenang para korban di Stadion Kanjuruhan di Indonesia."


Tak boleh terulang

Namun ada juga beberapa sudut yang memasang spanduk dalam nada mengkritik dan mengecam pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab di balik kematian lebih dari 100 orang itu, seperti terlihat di markas Bayern Muenchen di Allianz Arena, ketika klub Liga Jerman ini menjamu Victoria Plzen dalam pertandingan fase grup Liga Champions.

Benua gila sepak bola itu benar-benar tertuju kepada Indonesia, dalam suasana simpati, solidaritas, duka, dan juga marah mengecam kekerasan dalam olahraga, tapi berharap peristiwa itu tak terulang, apalagi di benua mereka.

Eropa pernah mengalami tragedi paling memalukan dalam sejarah sepak bolanya pada 29 Mei 1985, sebelum final Piala Eropa (kini Liga Champions) antara Liverpool dan Juventus di Stadion Heysel, Brussels, Belgia.

Akibat tragedi itu, Liverpool dilarang tampil selama enam tahun dalam kompetisi-kompetisi Eropa. Tak hanya itu, klub-klub Liga Inggris lainnya ikut terkena getah karena dilarang berkompetisi di Eropa selama sekian tahun.

Setelah tragedi itu, klub-klub Inggris memberlakukan aturan ketat guna mencegah pembuat onar masuk stadion, sampai kemudian mereka membuat undang-undang Football (Disorder) Act pada 1991.

Tetapi Tragedi Kanjuruhan terjadi bukan karena bentrok antar-suporter, seperti antara pendukung Liverpool dan suporter Juventus pada 1985.

Tragedi di Malang itu terjadi karena berdesak-desakan di pintu keluar stadion, seperti umum pernah terjadi di Ghana pada 2001 dan Peru pada 1964, yang semuanya dipicu oleh tembakan gas air mata ke arah penonton, yang tadinya ditujukan untuk membubarkan massa yang marah.

Sama dengan di Eropa, setelah tragedi ini, ada harapan dan keinginan besar bahwa iklim sepak bola Indonesia berubah menjadi jauh lebih baik, seperti wajah sepak bola Inggris dan Eropa yang berubah drastis setelah Tragedi Heysel 1985.

Harapan itu menjadi dambaan semua, dari FIFA, pemerintah, PSSI, pemangku kepentingan lainnya, sampai suporter. Semuanya sepakat tragedi di Stadion Kanjuruhan itu tak boleh terulang.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022