Jakarta (ANTARA News) - "Bukankah telah datang suatu masa atas manusia, yang ketika itu dia merupakan sesuatu yang tidak bisa disebut" QS Al-Insan :1.

Ketika Rasulullah saw, dalam sebuah taklim, menjelaskan tentang hari berbangkit. Dimana setelah kiamat besar terjadi, manusia akan dibangkitkan kembali dari kuburnya dan menghadap kepada Allah swt untuk di-hisab, diadili di Padang Mahsyar.

Tiba-tiba seorang musyrik yang mendengarkan kalimat ini, bergegas ke rumahnya, diambilnya cangkul dan digalinya kuburan. Lalu dipungutnya tulang belulang yang telah patah, sampai potongan-potongan kecil. Lalu dibawanya dan di tumpahkannya ke hadapan Rasulullah saw.

"Ya Muhammad, engkau yang benar saja. Apakah mungkin tulang belulang yang sudah hancur ini bisa hidup kembali," ujar orang musyrik itu.

Lalu Rassulullah saw membacakan surat Al-Insan diatas. "Bukankah telah datang suatu masa atas manusia, yang ketika itu dia merupakan sesuatu yang tidak bisa disebut?," terang Nabi saw.

"Dulu, sebelum lahir saya ini tidak ada, engkaupun tidak ada, semua manusia tidak ada. Tidak bisa diberi nama, tidak bisa disebut, karena sesuatu yang belum ada wujudnya. Barulah Allah menciptakan manusia dari air mani yang bercampur".

Dengan kata lain Nabi saw, ingin menguji logika orang musyrik tadi. Bahwa dulu manusia tidak ada, atas kekuasaan Allah swt kemudian menjadi ada. Nah sekarang bahannya sudah ada, sudah ada tulang belulangnya, tentu dengan Maha Pencipta Allah swt, akan bisa menyusunnya kembali.

"Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur" QS Al-Insan:2.

Oh, ternyata manusia itu hanya diciptakan dari setetes mani saja. Bukan dari sebongkah emas atau sekarat berlian.

Kemudian dijadikan-Nya pendengaran, penglihatan dan hati, agar manusia itu bersyukur.

Tahu diri itu sangat penting. Siapa kita, dari mana asal kita dan akan kemana kita setelah kehidupan ini berakhir. Kalau orang tidak tahu diri, maka tentu tidak tahu posisi, tidak tahu menempatkan dirinya, baik di hadapan Allah swt, Yang Maha segalanya ataupun dihadapan manusia.

Dengan memahami hakikat diri, tentu akan menjauhkan kita dari sikap sombong dan takabur. Sombong kepada Allah swt, sombong kepada manusia atau sombong kepada hewan, tumbuhan atau makhluk lainnya.

Apapun kedudukan kita dihadapan manusia, ternyata kita hanyalah makhluk Allah yang kecil dan kerdil.

Ya Allah, janganlah Engkau usir kami –dalam kehinaan kami ini- dari sisi-Mu. Ya Allah, janganlah Engkau usir kami –dalam kehinaan diri kami- dari pintu-pintu-Mu. Pinta kami di akhir Ramadhan ini. Duhai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
(*)

Pewarta: Tifatul Sembiring
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013