Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai sistem demokrasi dengan pemilihan langsung perlu dikaji ulang karena sistem tersebut mendorong adanya demokrasi yang bersifat transaksional di tengah masyarakat jika berkaca pada Pemilu 2009 hingga Pemilu 2024.
Pria yang akrab disapa Bamsoet itu mengatakan, maraknya politik transaksional mengikis idealisme dan komitmen politik sebagai sarana perjuangan mewujudkan aspirasi rakyat. Model demokrasi transaksional tersebut menurutnya tidak menjadikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi.
"Masyarakat tidak segan untuk meminta uang secara langsung kepada calon anggota legislatif (Caleg). Para Caleg pun secara terang-terangan tidak 'malu' memberikan uang kepada masyarakat untuk memilih dirinya," kata Bamsoet dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Lemhanas: pemilihan langsung tingkatkan kredibilitas wakil rakyat
Baca juga: Lemhanas: pemilihan langsung tingkatkan kredibilitas wakil rakyat
Adapun dia mengusulkan hal tersebut saat mengisi mata kuliah 'Karakter Bangsa dan Bela Negara' dengan tema 'Demokrasi Indonesia' kepada mahasiswa Pascasarjana Universitas Pertahanan. Demokrasi transaksional pada Pemilu 2024 menurutnya semakin masif dan terbuka dibandingkan tiga pemilu sebelumnya.
Berdasarkan hasil Pemilu 2024, menurutnya banyak calon legislatif (caleg) yang memiliki kualitas dan kapabilitas sebagai anggota dewan harus tersingkir, karena maraknya politik transaksional di masyarakat. Persaingan para caleg menurutnya justru lebih didominasi oleh kekuatan finansial, karena visi, misi, program kerja terkalahkan oleh 'serangan fajar' menjelang pencoblosan.
Baca juga: Demonstran Hongkong tolak tuntutan hentikan unjuk rasa
Baca juga: Demonstran Hongkong tolak tuntutan hentikan unjuk rasa
Dia pun menilai ada sebagian masyarakat yang lebih mengutamakan berapa besar uang yang diterima dari para caleg. Bahkan, kata dia, tidak jarang ada satu pemilih yang menerima 'serangan fajar' dari dua hingga tiga caleg sekaligus.
"Istilah nomer piro wani piro (NPWP) menjadi hal biasa di tengah masyarakat. Pemilih tidak lagi mengutamakan kualitas dan kapabilitas para caleg," katanya.
Baca juga: Pilkada langsung justru rusak marwah demokrasi
Baca juga: Pilkada langsung justru rusak marwah demokrasi
Menurutnya bukan tidak mungkin jika sistem demokrasi langsung dalam Pemilu ataupun Pilkada terus dipertahankan, demokrasi di Indonesia hanya bergantung pada nominal rupiah dan bukan lagi memperjuangkan aspirasi rakyat.
Sehingga sistem yang dianut oleh bangsa Indonesia itu sangat berpotensi menggiring orang untuk terjerat dalam tindak korupsi. Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sistem demokrasi langsung memiliki daya rusak yang luar biasa.
"Tidak aneh bila banyak kepala daerah ataupun anggota dewan yang tersangkut kasus korupsi, karena saat pemilihan mereka mengeluarkan biaya yang sangat tinggi," katanya.
Baca juga: Pengamat: Indonesia Tidak Mengenal Sistem Monarki Absolut
Baca juga: Demokrasi Layar Terkembang
Baca juga: Pengamat: Indonesia Tidak Mengenal Sistem Monarki Absolut
Baca juga: Demokrasi Layar Terkembang
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2024