Jakarta (ANTARA) - Satu bulan penuh, umat Islam di Indonesia melaksanakan puasa Ramadhan yang penuh keberkahan dan kemuliaan. Keberkahan itu ditandai dengan kegembiraan dan kedermawanan.

Hampir semua masjid menyediakan takjil buat berbuka dan makan sahur dan sebagian warga beriktikaf ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadhan.

Fastabiqul khairat  atau berlomba-lomba dalam kebaikan, semua menyatu bagi kemakmuran, keberkahan dan kemeriahan Ramadhan. Kemuliaan ditandai dengan usaha menahan diri, menjaga emosi dan kemarahan serta mengendalikan nafsu syahwat.

Di sisi lain, lidah-lidah mereka basah dengan bacaan Al Quran, zikrullah, dan berkata-kata yang baik. Kemuliaan yang mana lagi, kalau tidak dalam kemuliaan Ramadhan ini, yakni setiap diri menjaga kesucian dengan memelihara diri dari kemaksiatan?

Berpuasa merupakan laku transformatif kemanusiaan. Puasa itu sendiri juga bukan monopoli bagi manusia.

Jika kita mau mencermati, hewan-hewan pun melakukan puasa untuk tujuan kelangsungan hidup. Seekor ulat yang memakan daun-daunan akan berpuasa agar ia dapat menjelma menjadi seekor kupu-kupu sebagai makhluk baru yang lebih indah dan menawan.

Seekor induk ayam, mesti berpuasa untuk melangsungkan kehidupan terhadap anak keturunannya dengan mengerami telur-telurnya hingga menetas.

Seekor ular mesti berpuasa, yang kemudian kulitnya  mengelupas, sehingga kulit barunya menjadi tampak lebih bersinar dan muda.

Kelaziman berpuasa pun sesungguhnya juga bukan hanya diwajibkan bagi Islam, tetapi juga untuk agama-agama lain.

Di tengah kita berpuasa, ternyata keriuhan yang tersisa, sebagai "residu" pemilihan umum, khususnya pilihan calon presiden dan wakil presiden, belumlah usai.

Mahkamah Konstitusi (MK) masih menyidangkan gugatan sengketa pemilu, antara Pasangan Calon 01 dan 03 terhadap Pasangan Calon 02, atas dugaan kecurangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Proses ini belum selesai dan keputusan final yang mengikat pun belum diambil. Masing-masing pasangan calon telah membangun argumen, mengajukan bukti, menunjukkan posita dan petitum dengan dalil-dalil hukum terbaiknya.

Warna-warni Ramadhan yang diisi dengan membaca Quran, berzikir, menahan diri dari amarah dan kebencian, serta menahan hawa nafsu, setidaknya menjadi modal bagi para hakim di Mahkamah Konstitusi, para pengacara atau pembela hukum, dalam upaya menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sebab, siapa pun mesti percaya, ketika suatu perkara hukum telah sampai pada lembaga hukum dan peradilan, dan apalagi berada dalam nuansa Ramadhan yang sarat dengan kesucian dan kemuliaan, menjadikan semuanya telah bersungguh-sungguh bermaksud menegakkan kebenaran dan keadilan itu berdasarkan sumpah yang telah diucapkan dan menjadi komitmen sebagai penegak hukum yang berarti juga menjadi penegak kebenaran dan keadilan.


Perkara penting

Untuk itu, prinsip dalam berkata-kata yang ditunjukkan dalam sidang yang terjadi di Mahkamah Konstitusi, adalah prinsip kata-kata yang baik (qoulan ma’rufan), perkataan yang lembut (qoulan layyina), dan perkataan yang adil (qoulan bil qisthi).

Kemuliaan Mahkamah Konstitusi (MK) terletak pada prinsip-prinsip tersebut, khususnya pada prinsip kebenaran dan keadilan.

Masing-masing pastilah tidak mudah untuk membuktikan dan mempertahankan. Sebab, di dalam pengadilan, dan hampir di setiap proses-proses yang terjadi di pengadilan, selalu terdapat upaya untuk meyakinkan hal-hal yang telah terjadi pada masa lalu (post factum), disajikan menjadi kebenaran hari ini.

Fenomena komunikasi forensik ini selalu mewarnai perdebatan tentang peristiwa masa lalu, yang dihadirkan menjadi kebenaran hari ini.

Setiap hakim akan memiliki pertimbangan, tidak saja pertimbangan formil hukumnya, tetapi aspek sosiologis, psikologis, dan politik hukum itu sendiri.

Dari sisi sosiopolitis, pemilihan umum merupakan peristiwa luar biasa yang memiliki skala yang sangat besar, bersifat massal, dan memerlukan anggaran yang sangat besar, serta rentan dengan kompetisi, konflik, dan perpecahan.

Melampaui pemilihan umum dengan damai, dapat dikatakan sebagai prestasi bangsa seluruhnya, untuk mendapatkan pemimpin baru dengan kebijakan dan programnya.

Sebagian merupakan kelanjutan dari penyelenggaraan kekuasaan sebelumnya dan sebagian yang lain merupakan kebijakan dan program yang baru karena perkembangan dan situasi yang sebelumnya belum terpikirkan.

Dari sosio-psikologis, Pemilu 2024 pada satu sisi dapat dipandang sebagai pesta rakyat, tetapi pada sisi lain, telah menimbulkan tekanan-tekanan psikologis tertentu, dengan munculnya prasangka sosial dengan intensitas yang berbeda-beda.

Secara kolektif, situasi sosiopsikologis demikian bukanlah situasi yang normal yang dirasakan secara rutin dalam keseharian.

Sebagai agenda politik nasional, maka relasi sosial dan kemasyarakatan diakui atau tidak diakui telah menimbulkan tekanan sosial dan psikologis tertentu.

Dari sisi hukum politik dan pemerintahan, pemilu dilakukan untuk menjalankan adanya sirkulasi elit politik dan keberlangsungan penyelenggaraan kekuasaan dengan pemerintahan yang mendapat legitimasi rakyat, yakni kepercayaan penuh dari rakyat.

Dengan demikian, pemilu juga berarti merupakan mekanisme di mana eksistensi negara dan pemerintahan menjadi terus ada dan dipertahankan.

Sekalipun hasilnya tidak memungkinkan 100 persen absolut, atau pun 100 persen bersih, tetapi secara konstitusional disediakan pula mekanisme jika terdapat sengketa dan perselisihan terhadap penyelenggaraan dan hasilnya.

Semua pertimbangan tersebut diperlukan kedalaman hati, refleksi diri, asas kemanfaatan dan kemudharatan, untuk memutuskan perkara dengan seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin.

Sebuah putusan yang adil dan bijaksana yang seperti apa yang dihasilkan? Apakah putusan itu memang membatalkan penyelenggaraannya atau menghukum pihak-pihak yang terlibat dalam kecurangan saja?

Dilema-dilema diproses dan dihasilkan tentu tidak mudah bagi para hakim untuk mengambil keputusan dengan seadil-adilnya dan sebijak-bijaknya.

Dalam filosofi Jawa ada pepatah, yakni "adigang, adigung, adiguna" yang mengingatkan kepada siapa pun, agar setiap diri tidak merasa jumawa (merasa hebat dan menang sendiri), nggege mongso (hasrat untuk mengendalikan semua), dan ngulat sarira hangrasa wani (kemampuan melihat dan sadar, sehingga tidak melampaui batas).

Dalam hidup bernegara dan berbangsa yang sarat dengan kuasa, rasa jumawa dan nggege mongso itu dibatasi oleh aturan, hukum dan konstitusi agar kekuasaan itu tidak disalahgunakan.

Karena itu "kebengisan" dalam semua sendi hidup berbangsa dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemilihan umum, sebenarnya tidak pernah diberi ruang untuk berkembang.


Kemenangan masyarakat

Bangsa kita adalah bangsa yang memilih kerukunan dibanding perpecahan. Memilih keselarasan dibanding ketidakstabilan. Memilih kedamaian dan kesejahteraan dibandingkan peperangan dan kemiskinan.

Memilih diam dibandingkan rama-ramai. Memilih menghindar dari pada ribut-ribut. Memilih memaafkan dibandingkan memendam dendam yang tidak pernah habis-habisnya dalam membakar emosi.

Semua itu jangan disalahartikan sebagai kelemahan, tetapi sebagai keutamaan dan mencerminkan spiritualisme bangsa Indonesia.

Suasana keselarasan semacam itu, sejalan dengan tujuan dari puasa dalam Ramadhan. Hakikat ketakwaan adalah kesempurnaan akhlak dalam hubungan diri dengan Tuhan dan kesempurnaan pribadi dengan sesama.

Pemilihan umum hanyalah sebuah peristiwa politik. Hanya mereka yang tidak sadar diri yang melakukan kecurangan.

Sementara hukum dan konstitusi pada akhirnya menjadi jalan bagi mereka yang menyakini adanya kecurangan. Meskipun keyakinan semacam itu harus dibuktikan sebagai fakta hukum dan bukti hukum.

Jadi, sebagai orang awam, yang ada hanya berharap agar "residu" pemilihan umum segera teratasi, keseimbangan sosial kembali terbentuk dan keputusan hakim yang adil dan bijaksana adalah menjadi kemenangan bersama, yakni sebagai kemenangan kebangsaan.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H, Mohon maaf lahir batin.

*) Prof Dr Widodo Muktiyo adalah Guru Besar Ilmu Komunikasi UNS Solo

 

Copyright © ANTARA 2024