Jakarta (ANTARA) - Ibarat sebuah film, jalan tol menjadi aktor utama dalam prosesi mudik Lebaran. Pemudik berjibaku menggunakan jalan tol sebagai sarana untuk pulang ke kampung halaman dan kembali ke kota.

Apalagi manakala jalan tol Trans-Jawa, yang kini sudah terintegrasi, dengan panjang lebih dari 1.748 km.

Kendati sebagian masyarakat masih ada yang belum sepenuhnya puas atas layanan jalan tol, karena tarifnya terasa kian mahal, tapi kenyataannya lebih dari 1,5 juta kendaraan dari arah Jakarta, telah mengaspal di jalan tol Trans-Jawa, saat arus mudik Lebaran 2024.

Kini, prosesi mudik Lebaran telah usai, Posko Nasional Lebaran 2024 telah ditutup oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

Hanya saja, tetap perlu digarisbawahi bahwa selama mudik Lebaran, semua mata tertuju pada jalan tol.

Kebijakan pemerintah, termasuk kepolisian, juga sangat fokus pada jalan tol. Tentu hal ini ada tak bisa dipungkiri, tersebab lebih dari 35 persen pemudik lebih memilih menggunakan jalan tol.

Sebab, bagaimana pun, dari sisi infrastruktur, jalan tol terasa lebih aman, nyaman, dan lebih cepat. Bahkan, pada titik tertentu lebih menjamin adanya aspek keselamatan.

Saat mudik Lebaran berkisar 3.000 km jalan tol bisa digunakan oleh pemudik, baik jalan tol yang sudah resmi beroperasi (2.834 km) maupun tol fungsional, sekitar 90 km.

Sementara itu, ruas tol Trans-Jawa yang sudah beroperasi sepanjang 1.748,54 km. Keberadaan jalan tol berperan signifikan dalam prosesi mudik Lebaran 2024.


Potret peran

Lalu, bagaimana pula potret peran jalan tol selama mudik Lebaran 2024? Ada beberapa catatan yang bisa dinarasikan.

Pertama, memimpikan mudik Lebaran tanpa kemacetan, cenderung mustahil, baik kemacetan di jalan tol atau juga kemacetan di jalan non-tol.

Fenomena ini tidak bisa dihindari sebab masih dominannya penggunaan kendaraan pribadi sebagai basis moda transportasi mudik Lebaran.

Seluas apapun jalan tol yang ada, tak akan mampu menampung volume kendaraan yang tumpah ruah dalam waktu bersamaan.

Apalagi setiap tahun jumlah kepemilikan kendaraan terus bertambah, minimal 10 persen, sementara ruang dan luas jalan tidak bertumbuh seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

Solusi maksimal untuk mengurai kemacetan adalah diskresi yang dilakukan oleh Korlantas Mabes Polri, contra flow, one way, dan ganjil genap.

Diskresi ini pun bisa jadi merupakan fenomena yang anomali, karena ketiga hal itu tidak dikenal dalam ranah regulasi, selain karena istilah dan kebijakan yang dimiliki pihak kepolisian.

Apalagi instrumen "contra flow", sejatinya merupakan diskresi yang berisiko tinggi dari sisi keamanan dan keselamatan.

Kedua, diskresi kepolisian untuk melakukan rekayasa lalu lintas adalah hal mutlak, agar masalah kemacetan di jalan tol bisa dihindari.

Ingat kasus tragedi kemacetan “Brexit” (Brebes Exit) pada April 2016 yang menewaskan 17 orang? Oleh karena itu, dengan jurus contra flow, one way dan ganjil genap, tergolong sebagai solusi yang paling maksimal untuk menyelamatkan fenomena horor trafik di jalan tol.

Satu hal, khusus untuk diskresi contra flow (lawan arah) harus ada evaluasi agar lebih mengedepankan aspek keselamatan.

Tragedi di km 58 tol Jakarta Cikampek, pada Senin 8 April 2024, yakni tabrakan Grand Max dengan satu PO bus yang menewaskan seluruh penumpang Grand Max (12 orang) harus menjadi pembelajaran bermakna.

Kejadian serupa tak boleh terulang, baik pada aksi contra flow pada mudik Lebaran dan atau contra flow reguler yang acap diterapkan pada ruas tol dalam kota di Jakarta, pada jam sibuk di pagi/sore hari.

Guna mewujudkan contra flow yang lebih berdimensi keselamatan, pihak kepolisian tentu lebih paham. Hal terpenting, aspek keselamatan harus menjadi prioritas, bukan aspek kelancaran semata. Untuk apa kelancaran jika kemudian nyawa pengguna jalan tol tergadaikan.

Ketiga, hal terpenting guna mewujudkan keselamatan di jalan tol adalah bergantung pada perilaku masyarakat sebagai pengguna jalan tol.

Kepolisian, instansi terkait, dan badan usaha jalan tol sudah memberikan warning terkait bagaimana agar pengguna jalan tol mengedepankan aspek keamanan dan keselamatan.

Sebab kecelakaan di jalan tol, faktor dominannya adalah karena manusia, seperti kecepatan tinggi, mengantuk, dan kelelahan. Dan selebihnya faktor teknis atau kendaraan, seperti ban pecah dan lainnya.

Berbagai rekayasa teknis yang dilakukan pemerintah, kepolisian dan badan usaha jalan tol, akan "muspro" alias sia sia, jika pengguna jalan tol tidak berupaya meningkatkan literasi kepatuhan dalam berkendara di jalan tol.

Keempat, sebaiknya jalan non-tol (jalan arteri) menjadi perhatian semua pihak. Fenomena yang ada, setelah ada jalan tol, khususnya jalan tol Trans-Jawa dan Trans-Sumatera, berdampak "dilupakannya" jalan non-tol, seperti jalan pantura dan jalan pansela.

Sebab jika hanya mengandalkan jalan tol, maka tak akan mampu menampung lonjakan volume kendaraan yang dahsyat.

Oleh karena itu, baik kepolisian, pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, harus melakukan migrasi serius kendaraan ke jalan non-tol, terutama jalan arteri nasional seperti pantura dan pansela.

Kedua ruas jalan ini masih sangat longgar, sementara jalan tol Trans-Jawa penuh dengan lonjakan volume lalu lintas.

Oleh karena itu, untuk menarik minat pemudik, maka keandalan jalan pantura dan jalan pansela harus setara dengan jalan tol Trans-Jawa.

Lagi pula, apalah gunanya di jalan tol lancar, namun kemudian pemudik tersandera kemacetan di jalan non-tol, seperti di area Prupuk, Bumiayu, Ajibarang, dan seterusnya, yang terjadi lonjakan trafik dan sangat melelahkan.

Dengan demikian, mudik Lebaran yang akan datang (2025) secara keseluruhan harus lebih lancar, lebih aman dan selamat, plus manusiawi dan lebih bermartabat.

Diharapkan, tahun depan tidak ada lagi kasus ketidaknyamanan dan kecelakaan lalu lintas yang merenggut korban jiwa secara masal.

Dimensi keamanan dan keselamatan jangan tergadaikan demi mewujudkan kelancaran dalam berlalu lintas dan berkendara di jalan tol.

Sebab prinsip dasar dalam bertransportasi, apalagi bertransportasi di jalan tol, aspek keselamatan adalah prioritas pertama dan utama. Tidak ada yang lebih penting dari itu.


*) Tulus Abadi adalah pengamat perlindungan konsumen dan kebijakan publik, anggota Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) unsur masyarakat

 

Copyright © ANTARA 2024