Jakarta (ANTARA) - Setiap kali Idul Fitri tiba, tradisi saling bermaafan menjadi momen yang paling dinanti.

Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, umat Islam merayakan hari kemenangan dengan hati yang bersih dan jiwa yang lapang. Salah satu cara mewujudkannya adalah dengan meminta maaf dan memaafkan, baik kepada keluarga, teman, maupun orang di sekitar.

Tradisi ini bukan sekadar formalitas saja, melainkan memiliki makna yang mendalam. Melalui bermaaf-maafan, hubungan yang sempat renggang dapat kembali terjalin, dan beban emosi dari masa lalu bisa dilepaskan. Namun, mengapa tradisi ini begitu melekat di Hari Raya Idul Fitri? Berikut adalah penjelasannya.

Baca juga: Panduan amalan sunnah di Hari Raya Idul Fitri, lengkap dengan dalilnya

Makna perayaan Idul Fitri

Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan utama berpuasa, yaitu menjadi pribadi yang bertakwa. Secara bahasa, Idul Fitri berasal dari dua kata, yaitu "id" dan "fitri".

"Id" berasal dari kata aada - ya’uudu yang berarti kembali. Disebut id karena hari raya ini dirayakan secara berulang setiap tahun di waktu yang sama.

"Fitri" memiliki dua makna, yaitu suci dan berbuka. Suci merujuk pada kondisi bersih dari dosa dan kesalahan setelah menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Sedangkan berbuka merujuk pada momentum berbuka puasa sebagai tanda berakhirnya Ramadhan, sebagaimana dengan hadis Rasulullah SAW:

"Dari Anas bin Malik: Tak sekali pun Nabi Muhammad SAW pergi (untuk shalat) pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, Idul Fitri adalah momen kembalinya manusia pada keadaan suci, baik secara spiritual maupun sosial. Salah satu wujud kesucian ini tercermin dalam tradisi bermaaf-maafan yang menjadi budaya di masyarakat.

Baca juga: Kumpulan doa di Hari Raya Idul Fitri yang dianjurkan untuk diamalkan

Mengapa bermaaf-maafan di saat hari raya Idul Fitri?

Tradisi bermaafan di Hari Raya Idul Fitri mencerminkan keberhasilan seseorang dalam menjalani puasa dan meraih ketakwaan. Salah satu ciri orang yang bertakwa adalah kemampuan menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an:

"(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan." (QS. Ali Imran: 134)

Bermaaf-maafan bukan hanya sekadar tradisi turun-temurun, tetapi juga ajaran mulia dalam Islam. Dengan saling memaafkan, hati menjadi lebih bersih, hubungan sosial kembali harmonis, dan semangat kebersamaan semakin kuat.

Melalui tradisi ini, Idul Fitri menjadi pengingat bahwa kemenangan sejati bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mampu mengendalikan emosi dan memaafkan dengan tulus.

Baca juga: Langkah efektif memulai pola hidup sehat setelah puasa

Baca juga: Doa dan amalan untuk keselamatan perjalanan Mudik Lebaran 2025

Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025