Jakarta (ANTARA) - Sahut-menyahut suara lantang pedagang terdengar nyaring ketika kaki ini berlabuh  di pasar grosir sandang terbesar di Asia Tenggara.

Suara itu nyaris seirama satu dengan lainnya. “Ya boleh dilihat dahulu,” “Silakan mampir, harga murah,” begitulah suara yang menggema di Pasar Tanah Abang pada siang itu.

Sesekali langkah kaki ini terhenti karena harus bergantian berjalan di lorong antar-tenan pedagang yang terletak di Blok G lantai dasar tambahan).

Tawar-menawar antara penjual dan pembeli menjadi pemandangan yang lazim di pusat grosir tersebut.

Seorang pembeli yang berasal dari Pandeglang, Banten, Caca 24 tahun mengaku baru pertama kali membeli baju Lebaran di Tanah Abang. Ia mengaku penasaran dengan hiruk-pikuk pasar sandang itu.

Di pilihnya Pasar Tanah Abang sebagai tempat untuk berbelanja baju Lebaran karena banyak pilihan yang ditawarkan.

Berbeda dengan toko pakaian atau butik yang jumlah dan modelnya terbatas,  di Tanah Abang, apa pun yang dicari pasti akan ditemui.

Selain itu kelebihan lainnya ketika beli secara langsung, kata dia, pembeli dapat mengetahui kualitas bahan yang tidak bisa ditemui saat membeli secara daring.

“Harga memang murah di online tapi datang langsung lebih puas,” kata Caca saat ditemui di Pasar Sandang terbesar itu belum lama ini.

Caca tidak hanya sendiri yang berbelanja baju lebaran, tapi masih banyak pembeli lainnya dari berbagai daerah memilih berburu baju Lebaran di Pasar Tanah Abang.

Untuk daerah luar Jakarta “baju Tanah Abang” menjadi kebanggaan tersendiri bagi penggunanya. Karena kualitasnya dianggap lebih baik dibandingkan baju yang di jual di toko pakaian lainnya.

Tak jarang para pembeli jauh-jauh dari luar Jakarta rela menyempatkan waktunya untuk mendapatkan baju Tanah Abang.

Tren itu memang masih ditemukan di luar daerah khususnya bagi ibu-ibu bukan untuk Generasi Z yang lebih suka belanja daring.

Seperti dikatakan pembeli asal Indramayu, Jawa Barat, Umiyati, ia lebih suka membeli barang yang berlabel Tanah Abang karena kualitasnya sudah terjamin sejak puluhan tahun lalu.

Meski saat ini marak belanja daring, namun Tanah Abang masih menjadi pilihan untuk koleksi baju Lebaran.

Jelang Lebaran

Aktivitas jual beli di pusat grosir tekstil terbesar itu pasti meningkat terutama menjelang Lebaran Idul Fitri.

Setiap tahunnya pada momen tersebut pedagang di Pasar Tanah Abang akan meraup keuntungan.

Keramaian Pasar Tanah Abang akan terjadi di waktu-waktu tertentu seperti menjelang Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Waktu-waktu itulah yang akan menampakkan wajah Tanah Abang dengan hiruk-pikuknya.

Pengelola Pasar Tanah Abang Blok A Heri Supriyatna mengatakan bahwa menjelang Lebaran 2025 jumlah pengunjung di Tanah Abang masih tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya.

Data tersebut diperoleh dari jumlah parkir kendaraan yang masuk ke pusat grosir tekstil terbesar se-Asia Tenggara itu.

Pedagang saat melayani pembeli di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (26/3/2025). ANTARA/Khaerul Izan
Seorang pedagang yang berada di Pasar Tanah Abang Blok B Boy mengaku aktivitas jual beli turun bila dibandingkan tahun sebelumnya.

Lima hari menjelang lebaran saja, kata Boy, masih banyak stok baju yang dijajakan di empat tokonya belum habis terjual.

Padahal pada momentum lima hari menjelang Lebaran 2024 pembeli sudah tidak bisa memilih lagi model karena hampir semua barangnya telah terjual.

Bahkan omzet yang didapatkan selama satu bulan bisa mencapai Rp1 miliar satu toko. Kini omzet yang didapatkan jauh turun hanya bisa mencapai Rp600 juta.

“Tahun lalu saya bisa menjual sebanyak 18.000 potong, kini setengahnya saja belum habis,” kata Boy saat berbincang dengan ANTARA.

Penjualan tekstil di Pasar Tanah Abang memang tidak selalu ramai, karena ada waktu-waktu tertentu di mana penjualan akan melesat dan itu telah disadari oleh para pedagang.

Daya beli menurun

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa secara tahunan (y-o-y) pada awal 2025, Indonesia deflasi dan ini menjadi yang pertama dalam kurun 25 tahun.

BPS mencatat, deflasi yang terjadi pada awal tahun ini disebabkan diskon tarif listrik yang menyumbang sampai 2,16 persen, di susul beras, tomat, dan cabai merah 0,11 persen.

Deflasi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun ini kata Guru Besar bidang Ilmu Menajemen Universitas Muhammadiayah Surakarta (UMS) Prof Anton Agus Setyawan dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat. Kondisi tersebut jelas berdampak pada sektor ekonomi Indonesia.

Menurut Anton, penurunan daya beli masyarakat dapat dilihat dari menurunnya konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sektor perdagangan dan jasa pun turut terdampak, mengingat menurunnya pengeluaran masyarakat.

Seperti dikatakan Anton dalam keterangan resmi di website UMS, pada awal 2025, hampir 14.000 pekerja formal kehilangan pekerjaan akibat penurunan di sektor manufaktur. Dan ini mempengaruhi pendapatan rumah tangga serta berdampak pada daya beli masyarakat yang turun.

Ekonom UMS itu mengusulkan beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Dalam jangka pendek, pemerintah dapat memperluas penerima manfaat dari program bantuan sosial, seperti program Keluarga Harapan, dengan menambah jumlah keluarga yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Hal ini akan membantu meningkatkan daya beli masyarakat yang terdampak langsung.

Selain Anton, hal senada juga disampaikan oleh Ekonom dan Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai penurunan daya beli ini bukan sekadar fluktuasi ekonomi, namun mencerminkan tantangan yang harus segera diatasi.

Data BPS menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut dari 21,5 persen pada 2019 menjadi 17,1 persen pada 2024.

Data tersebut menunjukkan sekitar 10 juta individu mengalami ketidakpastian ekonomi tanpa mendapat bantuan signifikan dari pemerintah.

Kondisi penurunan daya beli juga diamini oleh pedagang Pasar Tanah Abang, karena pada momentum Lebaran 2025 pusat grosir itu tidak seramai tahun sebelumnya.

Penurunan omzet di Tanah Abang bukan hanya sekedar persaingan dengan toko daring, tapi yang paling terasa karena daya beli masyarakat menurun.

Hal ini dibuktikan pada Lebaran 2024 meski ada persaingan dengan toko daring namun para pedagang masih mendapatkan omzet yang lebih tinggi dibandingkan momentum Lebaran 2025.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025