Berbagai upaya itu diharapkan dapat menjadi simpul yang mendorong perubahan budaya pengelolaan sampah di Tanah Air.
Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki tradisi yang dilakukan saat merayakan Idul Fitri, setelah melakukan shalat Idul Fitri  biasanya keluarga-keluarga di berbagai daerah berkumpul untuk menyantap jamuan setelah sebulan berpuasa.

Tradisi tersebut sudah berjalan turun-temurun untuk menjalin keakraban antara sanak saudara di kampung halaman. Namun, tradisi tersebut tidak hanya berperan dalam meningkatkan relasi antara anggota keluarga, tapi juga berpotensi meningkatkan sampah organik dari sisa makanan atau yang dikenal juga dengan istilah food waste.

Tidak main-main, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memperkirakan sekitar 73,24 juta kilogram sampah, atau sekitar 73,24 ribu ton, berpotensi dihasilkan selama masa mudik dan libur Lebaran 2025. Berdasarkan prediksi Kementerian Perhubungan bahwa 146,8 juta orang akan mudik pada tahun ini.

Jumlah itu sejalan dengan proyeksi peningkatan sampah sisa makanan selama masa puasa, yang diperkirakan naik 10 sampai 20 persen.

Hal itu dapat terlihat dari peningkatan sampah yang dihasilkan di rest area.

Sebagai contoh, menurut data pengelola Rest Area KM 57 yang terletak di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, jumlah sampah yang diangkut dari kawasan itu meningkat. Dari hari-hari biasa dapat diangkut dengan 2 truk per hari, dalam beberapa hari terakhir jelang puncak mudik sampah yang diangkut 5 truk setiap harinya.

Tantangan tidak hanya hadir dari potensi peningkatan sampah, tapi juga lokasi sampah itu ditimbulkan yaitu di daerah-daerah lokasi mudik yang kemungkinan belum mumpuni menghadapi lonjakan sampah. Belum lagi banyak daerah kini sedang menghadapi sanksi paksaan pemerintah dari KLH karena menjalankan TPA secara open dumping atau menumpuk sampah secara terbuka tanpa pengolahan.

KLH sudah mengeluarkan sanksi administratif paksaan pemerintah kepada 343 TPA di berbagai daerah. Beberapa TPA yang terbukti mencemari lingkungan sudah diperintahkan ditutup.

Deputi Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) KLH Ade Palguna mengingatkan bahwa sampah sisa makanan menjadi penyumbang timbulan terbesar di TPA, yang menimbulkan masalah baru ketika ditumpuk dan bercampur dengan sampah lain.

Apalagi mengingat potensi peningkatan sampah selama puasa dan libur Lebaran ketika muncul pedagang musiman dan masyarakat lebih berpotensi membeli makanan secara berlebihan.

"Kalau sudah jadi food waste itu pasti nanti buangnya ke TPA dan itu menjadi masalah kita semua. Hal-hal yang memang terkait dengan food waste itu adalah masalah yang akan dihadapi ke depan," kata Ade.

Pada tahun lalu, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik KLH memperlihatkan total timbulan sampah nasional mencapai 33,5 juta ton dari 309 kabupaten/kota yang sudah melaporkan datanya. Dari jumlah tersebut, 39,37 persen di antaranya adalah sampah sisa makanan.

Baca juga: Pesta lebaran ketupat di Trenggalek meriah

Sampah yang tercampur di TPA dapat menimbulkan lindi yaitu limbah cair yang muncul ketika sampah organik seperti sisa makanan dan anorganik bercampur dengan air hujan, menghasilkan limbah dengan kandungan berbahaya yang mengontaminasi lingkungan.

Selain itu, bercampurnya sisa makanan dan sampah organik lain di TPA tanpa pengolahan juga menghasilkan gas metana yang tidak hanya menjadi salah satu jenis gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim, tapi juga dapat menyebabkan kebakaran TPA. Seperti yang terjadi pada 2023 ketika 35 TPA terbakar akibat keberadaan gas metana dan suhu panas.

Pengurangan sampah sisa makanan kemudian menjadi sebuah langkah yang perlu dilakukan, terutama di hari Idul Fitri untuk merayakan hari kemenangan tanpa menciptakan sampah baru yang akan membebani lingkungan.

Baca juga: KLH siapkan regulasi wajibkan pengelolaan sampah oleh pemilik kawasan

Lebaran minim sampah

KLH  sudah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2025 tentang Pengendalian Sampah Hari Raya Idul Fitri 1446 hijriah untuk menekan timbulan sampah yang hadir ketika masyarakat mudik dan berlibur.

Dalam edaran yang ditujukan kepada pemerintah daerah tersebut, gubernur serta bupati/wali kota diminta untuk mengawasi dan memfasilitasi penanganan sampah di jalur mudik, daerah penyangga dan lokasi lainnya termasuk di titik-titik keramaian selama mudik dan libur seperti stasiun, terminal dan lokasi wisata.

Pemerintah daerah juga diminta terus melakukan sosialisasi kepada pemudik secara khusus dan masyarakat secara umum terkait upaya sederhana untuk menekan timbulan sampah. Seperti menggunakan peralatan makan yang dapat diguna ulang dan mengonsumsi makanan dengan jumlah yang tepat sehingga tidak menimbulkan sampah sisa makanan.

Pengurangan sampah juga diharapkan dapat dilakukan saat shalat Idul Fitri dengan membawa peralatan dari rumah dan menggunakan alas sajadah yang dapat dibawa pulang. Selain itu, diimbau juga agar tidak membawa makanan dan minuman untuk mencegah munculnya sampah baru.

Pemerintah daerah juga diminta untuk membuat satuan tugas khusus untuk penanganan sampah mudik di kabupaten/kota tujuh hari sebelum dan sesudah Lebaran serta menjadi bagian dari panitia shalat Idul Fitri.

Tidak hanya sampah sisa makanan dan kemasan sekali pakai, Manajer Komunikasi Dietplastik Indonesia Adithiyasanti Sofia menyoroti bahwa upaya pengurangan sampah saat Lebaran juga dapat dilakukan dengan tidak mendukung fast fashion atau industri tekstil yang memproduksi pakaian siap pakai dengan harga murah dan gaya cepat berubah.

Dia menyarankan bahwa masyarakat dapat membeli baju yang modelnya dapat dipakai untuk waktu lama dan berulang, tidak hanya digunakan untuk perayaan Idul Fitri. Hal itu mengingat tidak hanya pakaian bekas dapat menjadi sampah, tapi juga industri fast fashion berkontribusi terhadap cemaran sungai dan melepaskan mikroplastik ke lingkungan dari degradasi bahan pakaian sintetis seperti polyester dan nilon.

Kontribusi dari produsen atau dunia usaha juga sangat dibutuhkan untuk menekan timbulan sampah, tidak hanya saat Lebaran tapi juga di hari-hari biasa. Contohnya, perusahaan dapat menarik kembali kemasan dari produk yang mereka jual atau bahkan bisa berkontribusi dengan cara lain termasuk menyediakan terminal minuman untuk masyarakat mengisi botol minum mereka di sejumlah titik strategis. 

Hal itu sesuai dengan target pemerintah Indonesia, yang ingin mencapai tingkat pengelolaan sampah 100 persen pada 2029, yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengingatkan bahwa untuk menyelesaikan sampah, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, adalah tanggung jawab bersama baik pemerintah, pemerintah daerah, peran masyarakat dan dunia usaha.

Meski tanggung jawab pengelolaannya berada di pemerintah kabupaten/kota, namun di sisi lain pihak-pihak lain juga perlu berkontribusi terhadap upaya menekan timbulannya. Termasuk kewajiban pengelola kawasan seperti hotel dan perumahan untuk menyelesaikan sampahnya.

Perlu juga didorong penguatan sistem pemilahan sampah di sumber seperti di tingkat rumah tangga, sehingga jumlah sampah yang masuk ke TPA dapat dikurangi secara signifikan.

Hal itu dibarengi dengan keterlibatan industri dalam skema Extended Producer Responsibility (EPR), dengan menempatkan perusahaan sebagai off-taker utama dalam pembelian sampah karton dan plastik, sehingga lebih banyak material daur ulang yang terserap ke dalam industri.

Baca juga: KLH: Masyarakat habiskan makanan kurangi "food waste" saat puasa

Dia mengingatkan bahwa sampah bukanlah berkah. Dengan setiap sampah yang dihasilkan membutuhkan biaya untuk penanganannya, bahkan memberikan beban kepada lingkungan jika tidak terkelola dengan baik.

Dengan demikian langkah-langkah perlu diambil individu, dimulai dari upaya sederhana saat merayakan Lebaran lalu dilanjutkan ketika sudah kembali dari libur dan mudik. Berbagai upaya itu diharapkan dapat menjadi simpul yang mendorong perubahan budaya pengelolaan sampah di Tanah Air.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025