Surabaya (ANTARA News) - Di awal paruh pertama bulan suci Ramadhan tahun ini, saya melihat dua kejadian berbeda yang cukup menyita perhatian. Kedua kejadian itu terjadi di dua tempat yang berbeda. Lokasinya sangat berjauhan. Satunya di Surabaya, Jawa Timur, dan satunya lagi di Serang, Banten.

Sebetulnya, dua kejadian itu tidak memiliki hubungan. Namun, pesan yang terkirim dari dua kejadian itulah yang mempertemukan keduanya. Di Surabaya, beredar berbagai spanduk di berbagai sudut kota. Bunyi spanduk tersebut adalah "Untuk Kualitas Puasa Yang Super!!! Hormati Orang Yang Tidak Puasa". Di sudut kiri tertulis NU Surabaya, lalu di sudut kanan tertulis Polrestabes Surabaya.

Di Serang, kota di provinsi paling ujung barat Pulau Jawa, muncul kejadian yang memilukan. Satpol PP pada Rabu (8/6/2016) lalu menggelar razia warung Bu Eni di Pasar Rau, Kota Serang, Banten, yang membuka dagangannya di siang hari saat bulan Puasa Ramadhan. Padahal Bu Eni mengaku tidak blak-blakan menjajakan usaha warteg-nya dengan menutup kain gorden. Kasus Bu Eni ini tidak sendirian. Sejumlah warung makan di kota yang sama juga terkena razia karena dipandang menyalahi ketentuan.

Ketentuan yang dijadikan sebagai dasar razia terhadap warung makan yang berujung pada penyitaan makanan dan minuman dagangan oleh Satpol PP Kota Serang di atas ada dua peraturam. Peraturan pertama adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2010 tentang apa yang disebut dengan Penyakit Masyarakat. Peraturan kedua adalah Surat Edaran Wali Kota Serang Nomor 451.13/556-Kesra/2016 tentang Imbauan Bersama Benyambut Bulan Suci Ramadan yang isinya terdapat jam operasional rumah makan yang diperbolehkan beroperasi hanya sejak pukul 16.00 WIB.

Kasus yang terjadi di Serang di atas menyita perhatian banyak pihak. Hanya dalam hitungan jam, kasus itu tidak lagi menjadi kasus lokal dengan skala Kota Serang, tapi sudah menjadi kasus nasional. Hingga Presiden pun harus turun tangan dan menyerahkan santunan kepada Bu Eni dan sejumlah pemilik warung.

Karena menjadi kasus nasional, maka banyak pihak yang meminta kepada Mendagri untuk memerintahkan peninjauan ulang hingga pencabutan peraturan-peraturan daerah yang rawan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Salah satunya adalah seperti yang menjadi dasar kasus penggerebekan warung di Kota Serang itu.

Tapi, dalam hemat saya, yang jauh lebih penting dilakukan oleh semua komponen bangsa ini adalah jangan sampai melakukan nahi munkar (memerangi kejahatan) dengan cara yang tidak makruf/baik. Jika hal itu dilakukan, maka hal itu akan mengurangi, bahkan menghilangkan yang makruf itu. Nilai yang makruf akan menurun.

Bahkan, bila kita tidak hati-hati, cara nahi mungkar yang tidak makruf akan bisa menggeser yang makruf bisa menjadi munkar. Kejadian di Serang Banten itu seakan menjadi bukti yang sangat jelas atas pentingnya pesan yang dibawa oleh spanduk yang dipasang di sejumlah titik di Kota Surabaya itu pula.

Pesannya, agar kita hati-hati dan penuh kebijaksanaan dalam melakukan amar makruf dan nahi munkar. Kita jangan sampai kehilangan akhlaq dalam memperlakukan mereka yang sedang tidak berpuasa bersama penjual makanan dan minuman yang menjadi penyedianya. Semua itu penting untuk menjaga kualitas puasa kita bersama. Begitu kira-kira pesan spanduk yang beredar luas di Surabaya di atas.

Sikap kita semua memang harus adil dan bijaksana. Saat bulan puasa tiba, kita patut menjaga kesucian dan keagungan bulan suci ini. Melaksanakan puasa adalah bagian dari upaya untuk menjaga kesucian dan keagungan bulan Ramadhan itu. Saat harus tidak puasa sekalipun, kita tidak selayaknya menunjukkan praktik makan dan minum di siang hari secara kasat mata, menyolok, dan bahkan berlebihan. Bahkan, menjual makanan dan minuman pun juga harus menghormati kesucian bulan Ramadhan itu dengan tidak semena-mena membuka warung atau restoran di siang hari.

Memang, bersikap moderat sebagai bentuk penghormatan itu tidak gampang. Sebaliknya, menjadi ekstrem itu mudah sekali. Untuk memiliki sikap moderat, kita butuh memiliki wawasan yang luas, kearifan yang tinggi, dan pertimbangan yang matang dalam berpikir dan bertindak.

Untuk itulah, dalam melakukan amar makruf nahi munkar, saya sangat menganggap penting sekali sikap kemasyarakatan NU untuk dimasyarakatkan. Ada tiga sikap kemasyarakatan yang penting dalam hal ini, meliputi tawasuth dan i'tidal, tasamuh, serta tawazun.

Tawasuth dan i'tidal adalah sikap hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah hidup bersama. Sikap ini akan menjauhkan kita dari segala bentuk tindakan yang bersifat ekstrem. Tasamuh merupakan sikap toleran terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, terutama dalam hal-hal yang bersifat khilafiyah, dan dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Tawazun adalah sikap yang menjunjung tinggi keseimbangan dalam bepikir dan bertindak dalam kaitannya dengan hubungan kita dengan Allah Swt, sesama manusia, serta kepada lingkungan hidupnya.

Kasus yang terjadi di Kota Serang di atas akan bisa dijauhkan jika kita mengamalkan sikap kemasyarakatan seperti NU itu. Untuk itu, menghormati yang sedang berpuasa adalah pahala. Menghormati yang sedang tidak berpuasa juga harus dilakukan, sebab itu akan menyempurnakankualitas puasa kita. Semoga. (*).

*) Penulis adalah Ketua Tanfidziyah PW NU Jawa Timur dan pengasuh Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Pewarta: KH. M. Hasan Mutawakkil Alallah *)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016