Hampir satu bulan lamanya umat Islam mengisi Ramadhan dengan makan sahur, berbuka puasa bersama, menunaikan shalat tarawih berjamaah, melakukan tilawah Al Quran, shalat berjamaah di setiap shalat wajib, mendengarkan ceramah-ceramah agama, bersedekah, beriktikaf, bermunajat, serta melakukan amalan-amalan baik lainnya.
Dalam sepuluh hari terakhir menjelang berakhirnya Ramadhan, sebagian besar masjid dipenuhi jamaah yang ingin menghidupkan malam dengan beriktikaf memperbanyak ibadah, seperti tilawah Al Quran dan melakukan "qiyamul lail" (shalat malam/tahajjud), sebagaimana dianjurkan Rasulullah Muhammad SAW.
Namun tanpa terasa bulan penuh ampunan ini sudah berada di akhir perjalanannya, dan hari-hari indah yang diisi dengan amal ibadah akan berlalu.
Bagi seorang ahli ibadah berakhirnya bulan Ramadhan tentu akan sangat merindukannya kembali dan berharap panjang umur sehingga bisa kembali bertemu Ramadhan tahun depan.
Banyak perasaan yang muncul di hati. Selain rasa sedih, ada pula rasa bahagia, senang dan gembira, manakala telah berhasil menjalani ibadah Ramadhan dengan sebaik-baiknya, serta berharap mendapatkan derajat kemuliaan, kembali menjadi manusia yang bersih seperti bayi yang baru lahir.
Dalam sebuah kesempatan, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr KH Nasarudin Umar mengingatkan umat Islam agar di penghujung Ramadhan tidak melupakan kewajiban menunaikan zakat, baik fitrah maupun zakat maal.
Menurut dia, zakat fitrah merupakan simbol kepedulian terhadap fakir miskin, anak yatim dan kaum dhuafa. Zakat fitrah juga menjadi syarat utama sebelum amalan Ramadhan diterima Allah SWT.
"Kita semua berdosa apabila di hari Idul Fitri nanti, masih ada yang tidak bisa turut menikmati kebahagiaan. Oleh sebab itu, zakat fitrah ini begitu diutamakan," katanya.
Zakat fitrah bertujuan membebaskan kefakiran pada Hari Raya Idul Fitri. Sedangkan secara umum zakat artinya membersihkan, bisa juga berarti menyucikan. Pembersihan ini dalam arti secara fisik dan secara nonfisik (spiritual).
"Dari setiap rezeki yang kita peroleh, Allah menitipkan sebagian untuk orang lain sehingga tidak bisa harta itu kita makan semua dan tidak menyisihkan untuk orang lain. Itu sama saja artinya hak orang lain kita makan, sehingga zakat menjadi sarana membersihkan harta kita terhadap kewajiban menyisihkan tadi," katanya.
Hari Kemenangan
Berakhirnya bulan Ramadhan ditandai pula dengan datangnya Idul Fitri, 1 Syawal. Perayaan Idul Fitri pada hari ini dilakukan untuk merayakan kemenangan mengendalikan hawa nafsu selama bulan Ramadhan.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin dalam suatu kesempatan pernah mengatakan pengendalian hawa nafsu merupakan jihad besar karena hal tersebut sangat berat bagi manusia.
Ketidakmampuan melawan hawa nafsu, menurut dia, akan berakibat pada keburukan dan manusia yang mengikuti hawa nafsu akan terjebak dalam kekejian, kemungkaran, dan kezaliman.
Akibat dari mengikuti hawa nafsu, terjadi kerusakan moral dalam masyarakat yang dapat meruntuhkan kehidupan bangsa, khususnya bangsa Indonesia yang memiliki modal sosial dan modal budaya.
Din mengkhawatirkan saat ini nilai sosial dan budaya bangsa sedang mengalami pergeseran dan perubahan, yang antara lain ditandai dengan gejala anak bangsa yang cenderung pemarah, mudah tersinggung, dan menempuh jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, daya juang dan sikap pantang menyerah bangsa Indonesia juga mulai tergerus oleh zaman.
Sikap bergotong royong bangsa Indonesia saat ini juga telah berkurang dan tergantikan oleh kecenderungan sikap hidup individualistik.
Untuk menyikapi hal-hal tersebut, Din yang juga mantan Ketua Umum MUI dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu mengajak umat Islam agar di penghujung Ramadhan dapat melakukan "muhasabah" atau mawas diri.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj menyoroti Hari Raya Idul Fitri sebagai momentum penting untuk bersilaturrahim dan saling memaafkan.
Seluruh umat Islam di Tanah Air memiliki kebiasaan mudik atau pulang kampung untuk saling bersilaturahim ke kampung halaman, saling bermaaf-maafan atas segala kesalahan yang pernah dilakukan.
Para pemudik pun rela berdesakan di atas bus, mengalami kemacetan panjang di jalan, bahkan sampai harus menginap di terminal atau stasiun kereta karena tidak kebagian tempat atau karcis.
Oleh karena itu, tradisi mudik saat Lebaran tentu tidak hanya sekadar tradisi pulang kampung, tetapi juga melaksanakan perintah agama sekaligus mempertahankan nilai moral bangsa, yakni mempererat tali silaturahim serta saling memaafkan.
"Kita sering mendengar ungkapan minal aidin wal faizin yang sadar atau tidak sadar, sering dimaknai dengan mohon maaf lahir dan batin. Meski secara kontekstual pemaknaan itu tidak terlalu menyimpang, keluasan dan kedalaman makna ungkapan tersebut tidaklah sepenuhnya terwakili dalam ungkapan mohon maaf lahir dan batin," kata KH Said Aqil Siradj.
Dia menambahkan, dosa atau kesalahan manusia kepada Allah menimbulkan hak bagi Allah untuk menuntut penebusan dari manusia. Umat Islam menjalani puasa Ramadhan sebagai upaya menebus dosa itu dan memohon ampun kepada-Nya.
Puncaknya adalah pada momen Idul Fitri, yaitu kembali kepada fitrah atau kesucian. Kembali kepada kesucian itu yang kemudian disimbolkan dengan adanya maaf dari Allah, lalu disempurnakan dengan maaf dari manusia.
Dalam kehidupan keseharian atau bermasyarakat, manusia pasti tidak luput dari berbuat salah kepada sesama. Allah tidak akan mengampuni kesalahan yang kita lakukan terhadap sesama jika kita tidak mau minta maaf kepada yang bersangkutan.
"Di sinilah sebenarnya kaitan antara ungkapan minal aidin wal faizin yang berdimensi vertikal, dengan ungkapan mohon maaf lahir dan batin yang berdimensi harozontal," katanya.
Pewarta: Arief Mujayatno
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016