Jakarta (ANTARA News) - Mulai Selasa (5/7) malam ini, jutaan umat Islam di seantero dunia mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil, memuji kebesaran nama Allah SWT, menyambut datangnya Idul Fitri yang jatuh pada 6 Juli 2016.

Takbir, tahmid dan tahlil dikumandangkan lantaran hanya Dialah yang pantas dipuji, mengagungkan Allah karena Dialah yang pantas diagungkan dan dibesarkan.

Dan jagat raya pun menyaksikan kebesaran Allah. Langit, bumi, bintang-bintang, malaikat dan jin semua bertasbih memuji dan mengagungkan-Nya.

Harus diakui dengan takbir dan tahlil tergambarlah di benak umat Islam betapa kecil, lemah dan tak berdayanya manusia di mata Allah, dan semua yang ada di dunia ini ada karena diciptakan oleh Allah, karenanya tidak ada yang layak dan wajib disembah kecuali Allah semata.

Seorang penguasa, bagaimanapun tinggi dan besar kekuasaan yang sedang digenggamnya, akan terasa hina bila berhadapan dengan kebesaran Allah swt.

Sebab, ia harus menyadari bahwa kekuasaan yang digenggamnya, tidak lain adalah anugerah Allah kepadanya buat sementara waktu saja. Bila tiba waktunya kekuasaan berakhir, maka kebesaran yang digenggamnya selama ini akan meninggalkan dirinya.

Begitu pula seorang konglomerat atau hartawan, adalah miskin di hadapan Allah. Kalau Allah berkehendak harta itu bisa hilang seketika atau ditelan bumi sebagaimana yang terjadi pada harta Fir'aun.

Seorang ilmuwan, betapapun luas dan dalam ilmunya, ia adalah bodoh di hadapan Allah, karena perbendaraan ilmu yang ada pada dirinya, lebih kecil dari setetes air lautan dari lautan ilmu yang dimiliki Allah SWT.

Mulianya seseorang dalam pandangan Allah, bukan karena kekuasaan yang ada di tangannya, bukan karena jabatan puncak yang sedang didudukinya, bukan karena mobil mewah dan rumah indah yang dimilikinya, bukan pula karena tumpukan intan berlian yang tersusun rapi di lemari kacanya dan tidak pula karena popularitas yang diraihnya, melainkan karena kualitas taqwanya kepada Allah SWT yang tumbuh subur di dalam lubuk hatinya.

Firman Allah, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling tinggi ketaqwaannya".

Takbir, tahmid, tahlil dan tasbih yang dilantunkan dan membahana di seluruh pelosok negeri tercinta selepas terbenamnya mentari 30 Ramadan adalah salah satu bukti kebersyukuran umat Islam kepada Allah Swt.

Umat Islam patut bersyukur dengan bertakbir, bertahmid, bertahlil dan bertashbih, karena hal itu merupakan penyadaran sepenuh hati hakekat kehidupan ini. Pada hari fitri itu, umat Islam memperoleh kemenangan atas hawa nafsu yang selama ini memenjarakan kebebasan fitri dan selalu menggiring ke lembah nista.

Jadi, pada Idul Fitri itu umat Islam kembali kepada kesucian jati diri; kembali kepada asal kejadian yang suci. Umat Islam menemukan kembali fitrah sebagai hamba dan khalifah-Nya di muka bumi ini.

Karena itu, dengan berbekal nilai-nilai Rabbaniah (nilai-nilai Ketuhanan) yang diperoleh melalui penempaan diri selama bulan Ramadan, umat Islam seyogyanya kembali kepada jati diri sebagai makhluk sosial yang bermoral luhur dengan mengembangkan nilai-nilai insaniyah (nilai-nilai kemanusiaan).

Jadi, manusia fitri adalah manusia yang sanggup mengenali, memahami dan mengaktualisasikan potensi rabbani (ketuhanan) dan insani (kemanusiaan) dalam dirinya ke dalam pola hidup yang cerdas, sehat jasmani-rohani dan emosi, dan selalu mengedepankan kepentingan sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral.

Manusia fitri sekurang-kurangnya memiliki 5 kecerdasan: intelektual, emosional, interpersonal, spiritual dan sosial.

Umat muslim penting menyadari bahwa dalam hidup ini seringkali kehilangan fitrah, lantaran fitrah yang sebetulnya dibawa sejak lahir itu mengalami proses pengkaratan, pelapukan, bahkan pembusukan oleh dosa-dosa selama 11 bulan.

Fitrah yang seharusnya memandu arah kehidupan seolah menjadi sirna karena terbawa oleh hawa nafsu, egoisitas dan godaan syetan.

Manusia menyimpang dari jalan kebenaran karena tergelincir dari jalan keimanan dan taqwa. Oleh karena itulah, dengan petunjuk yang diberikan Allah, umat Muslim diberi kesempatan sebulan penuh untuk menjalani proses pembersihan diri dan jiwa.

Sifat-sifat negatif dari al-nafs al-nabatiyyah dan al-hayawaniyyah yang ada pada diri seperti rakus, buas, kejam, hasud, aniaya, serakah, perbuatan biadab dan seterusnya dikendalikan sedemikian rupa melalui puasa, sehingga al-nafs al-nathiqah (jiwa kemanusiaan) tumbuh, berkembang dan menghiasi jalan kehidupan.

Jadi, pendidikan Ramadan yang baru saja dijalani tidak lain adalah pembinaan dan pembebasan diri dari penjara al-nafs al-nabatiyyah dan al-hayawaniyyah menuju kemerdekaan al-nafs al-insaniyyah atau al-nathiqah.

Dengan mengendalikan kedua nafs (jiwa) yang pertama itulah, nafs nathiqah manusia dapat menggapai derajat taqwa. Dengan demikian, Idul Fitri merupakan "wisuda massal- internasional" atas kemenangan dan keberhasilan kita meraih jati diri yang fitri melalui penyucian jiwa insani.

Hanya saja, prediket dan kualitas taqwa seperti apakah yang disandang pada wisuda massal pagi itu? Hanya Allah dan diri kita masing-masing yang tahu!

Namun demikian, Allah menunjukkan beberapa indikasi hamba-hamba-Nya yang tergolong bertaqwa. Di antara indikasi manusia taqwa atau manusia fitri adalah sebagaimana terdapat dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 177.

Indikasi pertama adalah beriman kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat, Kitab-kitab suci, dan para Nabi. Kedua, kesediaan memberikan sebagian harta yang dicintainya untuk kerabatnya, anak-anak yatim, fakir miskin, musafir yang memerlukan pertolongan, orang-orang yang meminta dan memerdekakan hamba sahaya.

Dan ketiga, melaksanakan shalat dan membayar zakat. Keempat menepati janji bila berjanji. Kelima sabar dalam menghadapi kesempitan.

Taqwa adalah pakaian abadi. Taqwa adalah bekal hidup dan kepribadian umat Muslim. Pakaian taqwa itulah yang terbaik, kata Allah. Bawalah bekal dalam hidup ini. (Tetapi ingatlah), bekal terbaik untuk hidup ini adalah taqwa.

Ketaqwaan

Oleh karena itu, predikat taqwa yang disandang perlu tindak lanjut. Jika selama berpusa Ramadan umar Mulim melakukan internalisasi nilai-nilai Rabbani, maka di bulan Syawal (yang artinya peningkatan) dan seterusnya sudah sepatutnya melakukan aktualisasi diri.

Jika Ramadhan sebagai pendidikan mental spiritual, maka Syawal dan seterusnya merupakan wahana bagi aksi moral dan sosial.

Keimanan yang mengokohkan pendirian hidup tidak cukup dibiarkan begitu rupa tanpa dipupuk dengan amal kebajikan. Sandaran vertikal merupakan keyakinan akan Kemahabesaran Allah harus diuji dan dibuktikan dengan tidak melakukan aneka bentuk kemusyrikan: apakah itu syirik politik, syirik jabatan, syirik kekayaan, hingga syirik hawa nafsu.

Keteguhan tauhid fitri yang miliki hendaknya membuahkan komitmen sosial yang bermuara pada tegaknya keadilan sosial, solidaritas sosial, perdamaian, persaudaraan, persatuan, dan persamaan.

Singkatnya iman personal harus dan mesti diterjemahkan ke dalam amal sosial; ibadah individual harus ditindaklanjuti dengan ibadah sosial; Allahu akbar mesti diakhiri dengan salam (perdamaian) dengan sesama.

Iman sebagai sendi kehidupan juga menghendaki kesungguhan dalam mencari kebenaran melalui belajar, menuntut ilmu, memahami ayat-ayat Allah. Sebab, imtaq tanpa ilmu ibarat pelita di tangan seorang bayi.

Taqwa yang diamanatkan oleh Allah pada dasarnya memang menghendaki adanya perpaduan atau sinergi antara akal dan kalbu, dzikir dan pikir, usaha dan doa, iman dan amal. Sebab, akal tanpa kalbu hanya akan menjadikan manusia seperti robot; pikir tanpa dzikir membuat manusia seperti setan; sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.

Dalam kaitan menjaga keimanan itu, salah seorang dosen dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Bambang Irawan pernah mengingatkan bahwa alangkah indahnya jika mulai hari wisuda itu umat Islam secara terus menerus melakukan reformasi iman dengan menajamkan kepekaan nurani terhadap pemahaman dan penghayatan ajaran-ajaran agama.

Juga perlu menghiasi gerak-gerik kehidupan dengan dzikir. Tidak hanya dzikir qauli (dzikir verbal), melainkan juga perlu dibarengi dengan dzikir aqli dan dzikir amali (dzikir intelektiual dan dzikir aksi).

Ketika misalnya mendengar berita duka dari salah seorang kerabat atau kawan dekat, umat Islasm tidak cukup hanya menggerakkan lidah dengan mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun".

Pada saat yang bersamaan seyogyanya juga melakukan introspeksi diri sambil merenung: "Sudahkah kita mempersiapkan diri untuk dipanggil dan menemui-Nya: kapan saja dan di mana saja?".

Apa yang sudah dilakukan selama ini: sudahkah kita berada dalam al-shirath al-mustaqim? Sudahkah kita betul-betul menjadi Muslim yang kaffah (seutuhnya), bukan setengah-setengah? Jika mungkin di antara kita baru sempat shalat setahun sekali, sudahkah kita berjanji untuk lebih rajin shalat, rajin puasa, rajin mengaji, rajin bersedekah?.

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016