Jakarta (ANTARA News) - Lebaran identik dengan kehadiran dodol Betawi bagi penghuni asli Jakarta. Tanpa penganan tradisional ini, hari raya bagi umat muslim terasa kurang lengkap dan meriah. 

"Kalau mau Lebaran orang bilangnya lagi 'bikin kue', kalau kita bilangnya lagi 'ngaduk dodol'," kata Salmah, perempuan berdarah Betawi yang tinggal di Ceger, Jakarta Timur.

Salmah adalah bagian dari orang Betawi yang masih melestarikan tradisi membuat dodol untuk Lebaran. Kebiasaan itu diturunkan oleh ibunya, Kinah (72), yang tidak pernah absen membuat dodol Betawi selama puluhan tahun.

"Dodol ini rajanya kue Lebaran," kata Kinah (72).

Kinah memperlihatkan dodol Betawi yang dibuatnya tahun ini. (ANTARA News/ Nanien Yuniar)

Di halaman rumahnya yang luas, Kinah bersama anak-anaknya bercerita mengenai tradisi yang makin terkikis zaman. Kinah tidak ingat persisnya kapan dia mulai membuat dodol Betawi, yang pasti kebiasaan itu dia tularkan juga ke tujuh anaknya.

Kinah tidak punya toko khusus dodol Betawi, tapi dia sudah dikenal sebagai salah satu pembuat penganan khas Jakarta itu oleh orang-orang di sekitarnya. 

Biasanya separuh dari dodol yang selesai dibuat disisihkan untuk kebutuhan sendiri, untuk dibagikan atau dibawa saat berkunjung ke rumah saudara lain, sisanya dijual kepada pelanggan atau siapa saja yang berminat.

Niat awalnya membuat dodol bukan untuk diperjualbelikan, tetapi merawat adat istiadat.

"Kata orang tua zaman dulu, kalau Lebaran harus ada dodol," ungkap Kinah mengenai alasannya setia mengaduk dodol tiap tahun.

Tidak semua orang mampu menjaga komitmen untuk membuat dodol Betawi setiap menjelang Ramadhan. Sebagian keluarga Betawi akhirnya memilih cara yang lebih praktis, membeli yang sudah jadi ketimbang repot dan capek membuatnya sendiri.



Lagipula modal untuk membuat dodol juga lumayan menguras kantong.

Dodol Betawi harus dibuat dalam kuali besar, bahan-bahannya pun harus dibeli dalam jumlah banyak. Modal untuk membuat satu kuali besar dodol Betawi bisa sampai Rp1,5 juta.

Tenaga dan kemampuan juga jadi salah satu permasalahan. Dodol Betawi dibuat di dalam kuali besar yang harus diaduk tanpa henti selama belasan jam. Satu kuali dodol Betawi bisa melibatkan enam orang pekerja yang bergantian mengaduk selama 12 jam.

Pekerjaan yang tak membutuhkan tenaga besar, mulai dari memarut kelapa hingga mengaduk adonan cair, dikerjakan oleh kaum Hawa. Setelah beberapa jam diaduk di atas tungku arang, dan adonan dodol mulai mengeras, giliran para pria yang bekerja mengaduknya dengan dayung kayu.

"Kalau tidak biasa, tangan bisa lecet, melepuh. Kalau tidak hati-hati tangan juga bisa 'tercebur' ke adonan," katanya.

Ketika anak-anak dan para menantu masih muda dan bertenaga, Kinah tidak kesulitan mencari sumber daya manusia untuk membuat dodol. Tetapi belasan jam mengaduk dodol bisa berlalu tanpa terasa karena diselingi obrolan seru saat berkumpul dengan sanak saudara.

Lama kelamaan, jumlah orang yang bisa dan mau mengaduk dodol pun berkurang. Biaya pembuatan juga membengkak karena harus mengupah pekerja tambahan untuk mengaduk adonan dodol.

"Orang sekarang enggak akan mau. Capek, panas, berat," kata Kinah.



Salah satu saudaranya juga memilih untuk berhenti membuat dodol karena enggan melewati proses rumit nan melelahkan. Kerabatnya memilih untuk membeli saja dari Kinah.

"Orang yang enggak semangat, kurang rajin, enggak akan mau (mengaduk dodol). Tapi ini kan kue kita. Jangan sampai dodol kita hilang. Kata orangtua dulu, ini kue adat. Harus ada," tutur dia.

Kinah merasakan betul perubahan zaman yang memberinya kemudahan di sisi teknologi, tapi di sisi lain berpengaruh pada sumber daya alam.

Dahulu, biaya membuat dodol lebih murah karena sebagian besar bahan baku ada di kebun sendiri. Tapi semuanya masih manual, belum ada mesin ini itu yang bisa mengolah bahan baku secara cepat. Kelapa harus diparut satu per satu. Beras ketan ditumbuk dengan alu dan lumpang. Tungku penyangga kuali dibuat dari bonggol pohon pisang. 

"Sekarang enak, ada mesin penggiling kelapa, tungku pakai semen pasir. Dulu repot banget dah," katanya dengan logat Betawi kental.

Memang banyak yang berubah, tapi Kinah tetap mempertahankan arang untuk memasak dodol Betawi agar rasanya lebih gurih dan wanginya lebih menggiurkan.


Pemali

Konon ada pemali alias pantangan yang harus dipatuhi agar dodol Betawi hasilnya bagus. Boleh percaya, boleh tidak. Tapi begitulah kata orang-orang zaman dulu, kata Kinah.

Orang zaman dulu juga percaya bahwa pembuat dodol Betawi harus makan sirih agar kuenya bagus, meski ini tidak diterapkan anak-anak Kinah yang tidak terbiasa mengunyah sirih.

Selain itu, membuat dodol tidak bisa dilakukan sembarangan waktu.  Ada perhitungan tersendiri selayaknya memilih tanggal untuk mengadakan pesta pernikahan. Yang pasti, dalam sepekan seseorang sebaiknya hanya membuat dodol maksimal dua kali.

"Kalau tiap hari ya kecapekan juga," seloroh Salmah.

Satu momen seru dan kocak saat membuat dodol adalah "meminta janji tertentu" dari adonan. 

"Misalnya pas baru masukin tepung pakai janji 'Kue, mateng lo jam tiga, kalo enggak mateng gue ceburin ke kali'," kata Salmah. 

Anggota keluarga lain menimpali selorohan Salmah: "Di sini memangnya ada kali?" 

Juga, tidak boleh membicarakan hal buruk selama mengaduk dodol Betawi. Termasuk di antaranya adalah bicara soal orang meninggal. Konon, membicarakan sesuatu yang negatif membuat hasil akhir dodol Betawi tidak memuaskan.

Pembuat dodol juga harus "berprasangka baik" dengan adonan yang diaduknya. Walau dari awal kelihatan hasil akhirnya kurang maksimal, pantang untuk memberi label bahwa dodol itu "tidak bagus".

"Biar dodolnya jelek, bilang saja 'ih bagus banget!'. Kalau dibilang jelek, nanti beneran jelek."


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017