Jakarta (ANTARA) - Azan Magrib menjadi penanda dimulainya perjamuan umat Muslim saat Ramadhan. Ini bulan perayaan, semua menyambutnya dengan suka cita.

Psikolog dari Rumah Sakit Melinda 2 Teddy Hidayat menyebut kondisi saat ini sebagai perayaan istimewa. Sebagian masyarakat menganggap Ramadhan sebagai bulan yang patut dirayakan dengan pesta pora.

Iftar menjadi saat yang mereka nanti, dan semakin istimewa manakala dilakukan secara bersama-sama dengan keluarga, sahabat maupun rekan sejawat. Hidangannya pun biasanya berbeda, baik dari segi rasa maupun jumlah.

Menurut dia, ada juga kecenderungan masyarakat tidak akan sulit mengeluarkan uang lebih saat Ramadhan. Dorongan ini diperkuat dengan adanya promo-promo berbuka puasa yang berjajar di persimpangan jalan.

"Biaya lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan yang lain karena memang ini bulan istimewa. Ini menjadi kebiasaan seperti menghadapi pesta," katanya.

Praktisi makanan sehat sekaligus Co-Founder Restoran Sehat Burgreens, Max Mandias. (ANTARA/HO/Max Mandias)


Meski sejatinya, puasa mendorong umat Islam untuk menjadi lebih disiplin menjaga hati dan pikirannya dari nafsu dan hasrat, termasuk pada makanan. Namun, tidak jarang perjamuan justru berakhir dengan pemborosan.

Tidak jarang ini juga terjadi di lingkup keluarga. Perjamuan saat berbuka puasa dengan makanan berlimpah dibanding hari biasa justru akhirnya menambah jumlah makanan tersisa.

Nafsu "balas dendam" setelah lebih dari 13 jam perut tidak terisi dan saat gula darah mulai menurun memang terkadang justru akhirnya memicu pemborosan makanan.

Maka tidak perlu heran jika Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) seperti Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, di hari pertama Ramadhan sudah mencatat peningkatan penerimaan volume sampah dari DKI Jakarta sebesar 864 ton dari rata-rata sekitar 7.000 ton per hari.

Petugas di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang Ahmad Nur Mubarok mengatakan ada 12 truk yang dalam 24 jam mengangkut sampah dari wilayah DKI Jakarta ke Bantargebang pada hari pertama Ramadhan.

Ia mengatakan peningkatan volume sampah dari wilayah DKI Jakarta selama bulan puasa tahun ini kemungkinan kurang lebih sama dengan tahun sebelumnya, sekitar empat persen, utamanya berasal dari tempat-tempat perdagangan takjil dan pasar-pasar kaget.

Jejak karbon

Seluruh aktivitas manusia ditengarai menghasilkan jejak karbon yang merupakan emisi zat buang yang memicu pemanasan global. Mulai dari mengolah makanan, menggunakan kendaraan dan alat transportasi, memakai peralatan listrik, hingga aktivitas pertanian, semuanya menjadi penyumbang jejak karbon.

Aktivitas-aktivitas tersebut memang tidak mungkin dihentikan sama sekali. Namun, perubahan perilaku gaya hidup hijau setidaknya diharapkan mampu meminimalisir dampak buruknya terhadap lingkungan.

Jejak karbon terbagi dua macam, primer dan sekunder. Jejak karbon primer sebagai tolok ukur emisi langsung CO2, misalnya pembakaran bahan bakar fosil untuk konsumsi energi transportasi dan domestik, sedangkan jejak karbon sekunder merupakan tolok ukur emisi yang tidak langsung, mulai dari proses pembuatan produk, distribusi, hingga ke penguraiannya.

Karenanya gaya hidup minim sampah seharusnya memang tidak hanya fokus pada pengurangan sampah plastik, namun juga meminimalisir limbah dari konsumsi makanan sehari-hari.

Wakil Direktur organisasi pemuda International Association of Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) Maria Jaclyn mengatakan bahwa sampah sisa makanan nantinya hanya akan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

Tidak hanya merusak pemandangan dan mencemari udara, menurut dia, sampah makanan juga dapat berdampak buruk bagi bumi.

"Sampah makanan menghasilkan gas metan 23 kali lebih kuat dari CO2 (karbon dioksida) dan berkontribusi delapan persen untuk menimbulkan emisi gas rumah kaca," kata Maria.

Sejumlah pemulung mencari sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Selasa (7/5/2019). (ANTARA/Shofi Ayudiana)

Oleh karena itu, ia mengimbau kepada masyarakat agar lebih memperhatikan sampah dari makanan, bukan sekadar sampah plastik dari kemasannya saja.

"Bukan hanya sisa dari apa yang dimakan tapi juga mulai pikirkan proses produksinya," ujar Maria

Saat mengkonsumsi makanan, ia mengatakan harus dipikirkan pula proses produksi bahan-bahan makanan tersebut, seperti air yang terpakai untuk penanaman, serta energi yang terpakai untuk budi daya tanaman pangan.

Ketika sisa makanan menjadi sampah, Maria mengatakan hal yang perlu diingat adalah kenyataan bahwa sumber daya air dan energi untuk memproduksi makanan tersebut juga ikut terbuang.

Jenis makanan yang mengandung jejak karbon tinggi biasanya berupa daging, sedangkan jenis makanan yang mengandung jejak karbon rendah biasanya berupa sayuran. Berdasarkan data Environmental Working Group (EWG) kadar karbon pada daging kambing 39,2 kg CO2 ekuivalen, daging sapi 27 kg CO2 ekuivalen, keju 13,5 kg CO2 ekuivalen, babi 12,1 kg CO2 ekuivalen, daging ayam 6,9 kg CO2 ekuivalen, ikan tuna 6,1 kg CO2 ekuivalen, telur 4,8 kg CO2 ekuivalen, kentang 2,9 kg CO2 ekuivalen, kacang 2,3 kg CO2 ekuivalen, sayuran 2 kg CO2 ekuivalen, susu 1,9 kg CO2 ekuivalen dan buah-buahan 1,1 kg CO2 ekuivalen.

Dari sisi kesehatan, aktivis vegetarian dan founder restoran vegetarian Burgreens Max Mandias mengatakan bulan Ramadhan sebenarnya justru momen yang pas untuk mengubah gaya hidup ke arah lebih sehat.

"Puasa bisa menjadi waktu untuk belajar mengontrol pola makan untuk menjaga lambung dan lebih selektif memilih makanan yang tepat dan pastinya sehat juga," lanjutnya.

Ini dapat dimulai dengan mengganti komposisi makanan yang disantap saat berbuka maupun sahur, hingga tentu saja memahami pentingnya menekan sampah yang dihasilkan, ujar Max.

Karenanya, jika sebelumnya menu berbuka puasa didominasi makanan berlemak dan berminyak mulailah mengubahnya dengan lebih banyak mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Protein hewani pun tidak diperlukan lagi dan dapat disubstitusi dengan nabati, kata pria lulusan Plant Based Nutrition Cornell University ini.

 

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019