Bantuan kemanusiaan tersebut disalurkan oleh lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Cabang Sulawesi Tengah melalui lembaga kemanusiaan asal Turki, Hayrat Yardim yang berpusat di Istanbul.
"2.000 paket iftar tersebut kita langsung berikan kepada korban bencana alam yang tinggal di hunian nyaman terpadu atau Integrated Community Shelter (ICS) ACT yang tersebar di wilayah Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Sigi," kata Kepala Cabang ACT Sulteng Nurmarjani Loulembah di sela-sela pendistribusian paket iftar di Desa Lolu, Kabupaten Sigi.
Dia mengatakan ribuan warga yang tinggal di ICS tersebut saat ini sangat membutuhkan bantuan ditambah lagi mereka kini tidak dapat bertani disebabkan lahan pertanian milik para penyintas kekeringan akibat saluran irigasi persawahan yang ada di wilayah tersebut rusak saat gempa bermagnitudo 7,4 pada 28 September 2018 itu mengguncang.
“2.000 ribu paket iftar itu akan kita distribusikan selama empat hari. Setiap sehari lima ratus paket iftar yang kita bagikan,”ucapnya.
Dia berharap bantuan itu dapat dinikmati oleh para penyintas di akhir bulan Ramadhan ini baik untuk dinikmati saat santap malam maupun saat sahur.
Sementara itu perwakilan Hayrat Yardim Indonesia Rakhmat Abriel Kholis mengatakan ribuan paket iftar itu merupakan donasi dari warga Turki untuk Korban bencana di Sulawesi Tengah.
“Saya melihat kondisi terkini di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala pascabencana masih sangat membutuhkan bantuan dari kita semua. Saya mengajak semua lembaga kemanusiaan baik di dalam maupun luar negeri untuk kembali datang ke Sulteng membantu para korban bencana di sini," katanya.
Selain paket Iftar, 150 paket makanan berupa beras serta sejumlah kebutuhan pokok lainya juga dibagikan kepada para penyintas.
Salah seorang peneriman manfaat paket iftar di Desa Lolu, Rina mengatakan pascagempa bumi dan likuifaksi yang melanda wilayah Sigi, tidak hanya meluluhlantakan rumah warga, namun juga berdampak buruk terhadap produksi pertanian warga yang sebagian besar bekerja sebagai petani.
“Kondisi keuangan kami tidak seperti dulu sebelum gempa. Suami saya tidak bisa bertani lagi karena lahan persawahan kami kekeringan akibat irigasi rusak parah. Sekarang suami saya itu hanya kerja serabutan dan biasanya jadi buruh bangungan,”ucapnya.
Pewarta: Muhammad Arshandi
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019