... Masyarakat Betawi berbondong-bondong datang di lapangan ini ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kemerdekaan bukan kemauan kelompok kecil, kemerdekaan adalah kemauan seluruh rakyat dan siapa itu? Masyarakat Betawi yang melakukan di sini...Jakarta (ANTARA) - Lapangan silang Monumen Nasional (Monas) di Jakarta Pusat ramai dipenuhi pengunjung yang berdesakan memandang kagum rumah kebaya yang dihias pernak-pernik cantik. Ini menandakan ibu kota tengah merayakan Lebaran Betawi.
Lebaran Betawi adalah festival yang digelar tahunan sebagai ajang silahturahmi warga Jakarta setelah Lebaran.
Tahun ini, perayaan itu terasa lebih spesial karena untuk kali pertama digelar di Monas. Biasanya, Lebaran Betawi secara rutin digelar di Perkampungan Budaya Betawi, di Setu Babakan, Jakarta Selatan.
Pemilihan Monas bukanlah tanpa dasar, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, berkata, nostalgia historis menjadi salah satu dasar mengapa Lebaran Betawi diadakan di tempat ikonik itu.
Tempat yang dulu berama Lapangan IKADA itu, menurut dia, adalah titik di mana dulu masyarakat Betawi berkumpul. Di situ juga Presiden Soekarno memimpin rapat akbar bersejarah pada 19 September 1945, sekitar sebulan setelah proklamasi kemerdekaan.
"Masyarakat Betawi berbondong-bondong datang di lapangan ini ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kemerdekaan bukan kemauan kelompok kecil, kemerdekaan adalah kemauan seluruh rakyat dan siapa itu? Masyarakat Betawi yang melakukan di sini," ujar Baswedan, dalam sambutan perayaan tersebut pada Minggu (21/7).
“Kota ini telah menjadi kota di mana persatuan Indonesia dirajut, di kota ini masyarakatnya menyambut kedatangan suku bangsa nusantara dengan keramahan, kehangatan sehingga terasa hidup satu Indonesia, di mana peran masyarakat Betawi menjadi fasilitator tumbuhnya persatuan Indonesia,” kata dia.
Pernyataan dia itu menggaungkan tema Lebaran Betawi ke-12 pada tahun ini yaitu "Dengan Budaye Kite Perkokoh Persatuan dan Kesatuan Indonesia."
Tema persatuan mungkin tepat diusung dalam perayaan tersebut, mengingat Jakarta bisa disebut sebagai melting pot Indonesia karena berbagai suku bangsa dan bahasa tinggal dan mencari rezeki di ibu kota.
Banjir, kemacetan, sampah, polusi udara, dan permasalahan khas kota megapolitan lain bahkan tidak membuat gentar banyak pendatang untuk menetap di tanah Betawi ini.
Mereka datang, beranak cucu, beradaptasi membawa budaya masing-masing dan mengakulturasikannya dengan budaya Betawi yang sudah merasuk di daerah yang dulu disebut Sunda Kelapa ini.
Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Hujan di Bulan Juni, bahwa: "Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas. Jakarta itu kasih sayang.”
Keterbukaan Betawi
Persatuan dan kesatuan masyarakat, terutama di Jakarta, tidak mungkin tercapai tanpa peran serta dari tuan rumah ibu kota yaitu orang Betawi.
Karena keterbukaan dan keramahan orang Betawi bisa dibilang keberagaman yang ada di Jakarta kini bisa ada sampai sekarang, menurut budayawan Betawi, Saiful Amri.
Menurut dia, karena keikhlasan itulah orang Betawi memberikan tanahnya untuk pembangunan gedung-gedung pemerintah untuk kepentingan negara dan masyarakat.
"Betawi itu dikenal dengan egaliter, terbuka. Dia tidak pernah berburuk sangka terhadap pendatang. Cuman aja pendatang kadang-kadang memanfaatkan keluguan orang Betawi, keterbukaan orang Betawi," kata Amri.
Kalimat dia itu mungkin cenderung keras, karena menurutnya ada fakta banyak orang Betawi tidak memiliki tanah sebesar dulu sebelum pembangunan gedung perkantoran dan rumah-rumah mengambil alih sebagian besar tanah Jakarta dan merek harus berpindah ke daerah pinggir perkotaan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Survei Nasional 2010, 94,30 persen dari total 6.807.968 orang Betawi yang ada di Indonesia kini sudah tinggal di daerah yang masuk dalam kategori perkotaan dengan 2.700.722 orang Betawi tinggal di daerah DKI Jakarta dan 2.664.143 orang di Jawa Barat.
Melewati berbagai macam rintangan, menurut Amri, orang Betawi tetap berhasil mempertahankan salah satu sifat dasarnya selain keterbukaan yaitu rasa humor yang tinggi.
Rasa humor tersebut, menurut dia, lahir dari keterbukaan Betawi yang terjaga sampai saai ini dan kecenderungan mereka untuk menerapkan sistem egaliter. Hal itu membuat mereka tidak membedakan ketika bertemu orang dari berbagai kalangan dan suku.
“Mengatakan sesuatu dengan kejujuran hingga dengan kejujuran itu orang menerima ikhlas, jadi lucu. Menyikapi realita dengan humor,” katanya.
Pelestarian budaya
Setiap kita yang tinggal atau pernah singgah di Jakarta pasti akan pernah melihat ondel-ondel, salah satu simbol dan lambang yang tidak bisa dipisahkan dari citra ibu kota yang sebenarnya merupakan salah satu lambang menariknya budaya Betawi.
Hal itu terbukti dengan ramainya khalayak yang bersemangat menyaksikan parade ondel-ondel yang hadir di Lebaran Betawi 2019 di Monas. Beberapa orang bahkan menyempatkan diri untuk mengambil swafoto dengan boneka setinggi dua meter itu.
Hal tersebut menunjukkan jelas bahwa budaya dan kesenian Betawi kini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan penduduk ibu kota.
Ayu Setyaningrum, salah satu pengunjung yang datang ke Lebaran Betawi, adalah salah satu warga yang berfoto dengan ondel-ondel. Dia mengaku meski sering melihatnya di jalanan Jakarta bersama para pengamen, keberadaan boneka itu di festival seperti itu tetap menjadi salah satu penarik perhatian.
“Sekarang sering kita lihat kan di jalanan, tapi yang ini kan lebih bagus dibandingkan itu dan yang ini ada musik asli, ada gong dan sebagainya, bukan kaset kayak yang di jalan,” ungkapnya ketika ditemui usai berfoto dengan ondel di Monas, Minggu (21/7).
Tidak hanya ondel, dalam Lebaran Betawi 2019 juga dimunculkan berbagai kesenian Betawi yang mungkin jarang terekspos secara rutin kepada masyarakat seperti gambang kromong, tanjidor, palang pintu dan berbagai kesenian tradisional lain.
Selain kesenian tradisional, ragam makanan khas Betawi seperti bir pletok, dodol, kerak telor dan es lendang mayang juga dihadirkan di anjungan lima wilayah kota administrasi dan Kabupaten Pulau Seribu untuk dinikmati warga yang datang.
Langkah untuk menghadirkan kebudayaan dan makanan tradisional itu sudah sejalan dengan upaya pelestarian yang digiatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Langkah awal adalah dengan penerbitan Peraturan Daerah Nomor 4/2015 Tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi dan Peraturan Gubernur Nomor 229/2016 tentang Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi.
Namun, tindakan nyata perlu dilakukan agar kebudayaan Betawi tidak hanya keluar saat kemeriahan festival tapi juga berkembang untuk dinikmati oleh generasi berikutnya.
"Jangan sampai menjadi penonton di kota sendiri, tidak boleh merasa orang asing di kota sendiri, ini tanah kita, ini air kita, ini tanah air kita. Karena itu, menjadi tradisi dikembangkan dan ditumbuhkan, bukan pelestarian, kalau pelestarian menjadi barang kuno," tegas Anies.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019