Di antara golongan yang wajib untuk tidak berpuasa Ramadhan adalah ibu hamil dan ibu menyusui.
Menanggapi hal tersebut, simak tanya jawab bersama Ustadz Mahbub Maafi, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU.
Bolehkah ibu hamil dan ibu menyusui tidak berpuasa?
Hal ini tentu harus disertai alasan yang dilegalkan oleh syariat (al-udzr asy-syar’i), yaitu adanya dlarar atau bahaya yang tidak disangsikan akan mengancamnya, baik terhadap dirinya, dirinya beserta kandungannya atau bayi yang disusui, dan atau kandungannya atau bayi saja.
Sementara untuk mengetahui bahwa apakah puasa wanita hamil atau menyusui membahayakan atau tidak, dapat diketahui berdasarkan kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan medis atau dugaan yang kuat.
Hal ini sebagaimana dikemukakan as-Sayyid Sabiq: مَعْرِفَةُ ذَلِكَ بِالتَّجْرِبَةِ أَوْ بِإِخْبَارِ الطَّبِيبِ الثِّقَةِ أَوْ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ
“Untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan (bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja) bisa melalui kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang terpercaya, atau dengan dugaan yang kuat” (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz, 2, h. 373).
Dalam konteks ini para fuqaha` (ahli fiqih), sebut saja ulama kalangan Madzhab Syafi'i, melakukan penjelasan yang rinci mengenai kondisi ibu hamil dan ibu menyusui.
Dalam kondisi apa dan bagaimana cara mengganti puasa bagi ibu hamil dan ibu menyusui?
Misalnya dapat dilihat di dalam penjelasan kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah yang ditulis Abdurrahman al-Jaziri.
Dalam kitab tersebut beliau menguraikan pandangan ulama dari kalangan Madzhab Syafi'i mengenai ibu hamil dan menyusui. Setidaknya ada tiga kondisi yang dijelaskan.
Pertama, bila dengan berpuasa mereka berdua khawatir akan keselamatan dirinya, maka wajib untuk tidak berpuasa dan wajib meng-qadha`, tanpa harus disertai membayar fidyah atau kafarat. Alasannya disamakan dengan orang yang sakit.
Kedua, bila dengan berpuasa akan membahayakan dirinya serta kandungan atau bayi yang disusui maka ia wajib tidak berpuasa dan wajib dan meng-qadha`.
Dalam kondisi yang kedua ini qadha` puasanya tidak perlu disertai dengan membayar fidyah.
Ketiga, bila dengan berpuasa akan membahayakan kandungan atau bayi yang disusui, tetapi tidak membayakan dirinya, maka wajib tidak berpuasa dan wajib meng-qadha` dengan disertai membayar fidyah.
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ
“Ulama dari kalangan Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa ibu hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla'-nya. Namun dalam kondisi ketiga, yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan membahayakan anaknya saja maka diwajibkan membayar fidyah.” (Aburrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzhahib al-Arba’ah, Juz, 1, h. 914).
Meskipun dalam kondisi ketiga menyangkut pembayaran fidyah atau kafarat ada perbedaan pendapat, tetapi pendapat yang dianggap sahih adalah pendapat yang mewajibkannya. Demikian sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq asy-Syirazi, salah satu ulama papan atas dari kalangan Madzhab Syafi'i. (lihat, Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, Juz, I, h. 178).
Fidyah yang harus dibayarkan adalah satu mud (berupa makanan pokok) untuk setiap hari yang ditinggalkan yang diberikan kepada orang miskin atau orang faqir. Satu mud kurang lebih 675 gram beras, dan dibulatkan menjadi 7 ons.
Misalnya puasa yang ditinggalkan karena khawatir membahayakan kandungan atau bayi yang disusui adalah lima hari, maka jumlah fidyah yang harus dibayarkan adalah 5 mud beras atau setara dengan 35 ons beras.
Fidyah dalam hal ini boleh diberikan kepada satu orang miskin atau faqir. (Lihat, Muhammad asy-Syarbini al-Khathib, Mughni al-Muhtaj, Juz, I, h. 442).
Pewarta: -
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021