Kalau di Ranah Minang orang mengenal kuliner lezatnya rendang, tapi di Aceh, lauk engkot keumamah atau disebut juga dengan ikan kayu sudah populer sejak ratusan tahun silam, dan menjadi menu khas pihak kerajaan saat menjamu tamu penting.
Ikan kayu bukan berarti terbuat dari kayu, tapi engkot keumamah adalah ikan tongkol/cikalang yang telah melalui proses pengeringan. Ikan tongkol, setelah dagingnya dipotong-potong beberapa bagian, kemudian direbus dan selanjutnya dikeringkan di bawah terik matahari.
Engkot keumamah yang tempoe doeloe menjadi menu istimewa sebagai lauk pauk teman nasi para pejuang Aceh saat berperang menghadapi penjajah Belanda. Pasalnya, kuliner dengan bahan baku utama ikan tongkol itu tahan lama, berbulan-bulan untuk mendukung gizi para gerilyawan yang sedang berperang melawan penjajah.
Tidak hanya saat perang, tapi engkot keumamah pada masa lalu juga menjadi salah satu bekal penting yang dibawa oleh para calon jamaah haji asal Aceh yang menempuh perjalanan berbulan bulan lamanya dengan kapal laut ke Makkah, Saudi Arabia.
Untuk melahirkan masakan yang enak dan lezat dari bahan utama engkot keumamah dengan bumbu kaya rempah antara lain bawang merah, bawang putih, asam sunti (belimbing wuluh yang sudah dikeringkan), cabai rawit, cabai merah, cabai hijau, jahe, ketumbar dan kunyit, daun temurui atau salam koja
Ada beberapa varian kuliner dengan bahan baku utama engkot keumamah yang diyakini dapat menggugah selera setiap orang yang akan mencobanya antara lain berupa masakan kari, tumis, dan kuah santan.
Kuliner dengan bahan utama engkot keumamah itu juga menjadi salah satu menu istimewa yang disajikan saat pesta (kenduri) baik perkawinan, hajatan sunah rasul, dan kegiatan menjamu tamu penting pemerintahan.
Engkot keumamah yang sebelumnya hanya dibuat tertentu oleh orang-orang tua di kampung, dan terbatas di jual di pasar-pasar, namun kini kuliner berbahan utama ikan laut itu banyak dijumpai di toko-toko suvenir, dan cocok dijadikan oleh-oleh karena sudah dilengkapi bumbu alias tinggal masak.
Kuliner Aceh sebagai salah satu kekayaan dan kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia, kata kolektor manuskrib Aceh Tarmizi A Hamid, perlu didaftarkan sebagai Hak kekayaan intelektual (HAKI) sehingga tetap terjaga eksistensinya.
Baca juga: AHY borong takjil Ramadhan di Aceh
Baca juga: Anggota DPR ajak pengusaha peduli produk halal
Kuah beulangong
Ternyata, kuliner Aceh yang kaya akan rempah-rempah dan tanpa penyedap buatan itu tidak hanya engkot keumamah, kata Tarmizi cukup banyak dan berbeda daerah juga berbeda jenis dan rasa, salah satunya masakan kuah beulangong khas Aceh Besar.
Setiap diadakan kenduri, apakah itu pesta perkawinan, sunat rasul, memperingati Maulid Nabi Muhammad, Nuzul Quran dan berbagai kenduri lainnya itu rasanya tidak sah jika tidak ada sajian masakan kuah beulangong.
Sebenarnya, kuliner kuah beulangong jika diartikan adalah kuah kari bahan baku utama daging sapi dan kambing yang dimasak dalam kuali berukuran besar. Kuah beulangong ini asal utamanya adalah kuliner Aceh Besar.
Tidak heran, di hajatan kenduri besar seperti memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, warga memasak kuah beulangong yang terkadang jumlahnya bisa mencapai 30 kuali besar dan dimasak secara gotong-royong di maunasah atau masjid di sebuah desa/gampong di Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.
Uniknya, kuliner kuah beulangong khusus dimasak oleh kaum laki-laki yang dimulai dari awal penyembelihan hewan ternak dominan sapi/kambing. Kuah beulangong sebagai kuliner kaya rempah-rempah itu dicampur buah nangka muda, buah pisang kepok dan hati pohon pisang.
Kaum laki-laki dari berbagai umur, bergotong-royong menyembelih, menyiangi sampai memasak daging sapi/kambing kuah beulangong, baik di masjid atau mushala jika diperuntukkan bagi hajatan kenduri memperingati Maulid Nambi Muhammad atau Nuzul Quran di Bulan Suci Ramadhan.
Tarmizi A Hamid yang akrab disapa Cek Midi juga mengharapkan Pemerintah Aceh terutama instansi terkait harus memberikan perhatian khusus untuk perlindungan karya para orang tua dahulu sebagai kekayaan budaya bangsa.
"Saya sarankan, Pemerintah Aceh dan instansi terkait lainnya harus serius memperhatikan kekayaan kuliner dan budaya serta adat istiadat guna diberikan perlindungan. Misalnya, terhadap kuliner engkot keumamah dan kuah beulangong itu segera dipatenkan (Haki), sehingga di kemudian hari tidak ada daerah lain atau negara lain yang mengklaim sebagai milik mereka," katanya.
Dia mencontohkan, kuah beulangong saat ini tidak hanya dijumpai di Aceh Besar atau Kota Banda Aceh tapi mudah dijumpai di seluruh wilayah di provinsi ini, bahkan kuliner tersebut juga sudah pernah disajikan dalam jamuan makan di Kuala Lumpur, Malaysia.
Pada hari-hari biasa, kuah beulangong yang mengeluarkan aroma khas dan menggugah selera bagi siapapun yang mencicipinya itu mudah dijumpai karena banyak usaha warung didirikan di sejumlah ruas jalan strategis seperti di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Pada bulan Ramadhan, misalnya, para pedagang kuliner kuah beulangong musiman berjejer di sejumlah ruas jalan yang ramai dilalui kendaraan bermotor di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Kuliner tersebut menjadi salah satu menu lauk berbuka puasa bagi umat Muslim Serambi Mekah.
Di pihak lain, Cek Midi mengharapkan Pemerintah Aceh agar lebih peduli dalam merawat tradisi dan budaya, khususnya ragam kuliner tradisional Aceh yang hingga kini masih dipertahankan masyarakat di provinsi berpenduduk sekitar 5,2 juta jiwa tersebut.
"Kita harus merasa bangga bahwa Aceh memiliki beragam kuliner tradisional dengan cita rasa yang menggugah selera, dan juga diakui wisatawan baik nusantara maupun luar negeri ketika mencicipi makanan khas Aceh, seperti masakan engkot keumamah dan kuah beulangong di Aceh Besar," kata dia menambahkan.
Sebagai produk tradisional kearifan lokal yang dimiliki dan sampai sekarang masih bertahan di Aceh, selayaknya kuliner seperti masakan engkot keumamah dan kuah beulangong dilestarikan dan dipatenkan.*
Baca juga: Lezatnya menu Nusantara dalam sajian bakmi
Baca juga: Sandiaga: Kuliner Mie Aceh buka peluang usaha dan lapangan kerja
Pewarta: Azhari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022