Hari Raya Idul Fitri adalah hari kemenangan bagi umat Islam dan kembali menjadi fitrah atau suci laksana manusia baru yang terlahir kembali dan bersih dari dosa.
Apakah benar demikian? Semua umat Islam merayakan Idul Fitri, namun sesungguhnya tidak semuanya berhasil mencapai kemenangan dan otomatis menjadi “bersih”. Tentu saja ada syarat dan ketentuan untuk menggapai hal itu. Bagaimana kualitas ibadah, membangun kesalehan secara vertikal kepada Tuhan dan horizontal kepada sesama, menjadi faktor penentu dalam meraih kemenangan.
Begitupun dalam upaya pembersihan dosa yang juga harus dilakukan dalam dua arah, secara vertikal dengan memohon ampunan kepada Sang Maha Pencipta dan horizontal dengan saling memaafkan terhadap sesama dalam pergumulan sosial yang dijalani selama ini.
Berkenaan konteks ini Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairomi dalam kitabnya Hasiyah al-Bujairami alal Khatib pada juz 5 halaman 412 menyebutkan bahwa “………Idul Fitri hanya bagi orang yang dosa-dosanya diampuni.”
Permohonan ampunan kepada Yang Maha Kuasa berpeluang lebih “mudah” karena jelas Tuhan bersifat maha pengampun. Namun meminta, memperoleh, dan memberi maaf kepada sesama, adakalanya tersandung banyak tantangan.
Meminta dan memberi maaf
Meminta maaf agar tidak menjadi basa-basi semata mesti berangkat dari pengakuan salah, keinginan untuk memperbaiki dan tidak mengulangi di kemudian hari. Tanpa ketiganya, permintaan maaf hanyalah ucapan di bibir belaka. Meski begitu, ketiga hal itu tidak mesti disampaikan secara verbal, melainkan cukup diniatkan dalam hati, sekaligus berjanji dengan diri sendiri.
Meminta maaf bagi orang-orang tertentu bukan perkara mudah, apalagi bila pihak yang harus meminta maaf merasa lebih superior dibanding korban yang pernah disakitinya. Superior bisa dalam hal umur, status sosial atau kedudukan dan jabatan. Dibutuhkan sikap gentle dan sportif untuk sanggup menyampaikan permintaan maaf secara tulus.
Sementara diperlukan keberanian cukup untuk menyampaikan permintaan maaf kepada mereka yang dianggap lebih superior, karena risiko ditolak, diinterograsi hingga mendapat sanksi bisa saja terjadi sebagai dampak dari pengakuan salah itu. Sehingga dalam posisi inipun, prosesi meminta maaf bukan hal mudah.
Di lain pihak, memberi maaf juga membutuhkan kebesaran hati dan keikhlasan. Sebab sebuah kesalahan mungkin telah menorehkan luka pada perasaan dan menyakiti hati seseorang. Tidak semua orang memiliki kemampuan menyembuhkan luka batin secara mandiri dalam waktu singkat. Layaknya selembar kertas yang diremas, tidak akan pulih mulus tatkala dibentangkan kembali. Begitupun sebongkah hati yang tersakiti oleh suatu perkataan atau perbuatan buruk, sulit baginya untuk sembuh seperti sediakala. Padahal syarat memaafkan dalam kualifikasi “lahir batin” manakala mampu menghapus kesalahan orang lain tanpa bekas. Bukan yang umumnya dilakukan banyak orang, bersedia memaafkan tetapi tidak untuk melupakan.
Untuk kesehatan
Sebagai sebuah amaliyah yang tidak mudah, memaafkan ternyata baik untuk kesehatan. Penjelasan mengenai hal ini dikemukakan oleh Dr. Frederic Luskin, direktur Proyek Pengampunan Universitas Stanford, konsultan senior dalam promosi kesehatan di Universitas Stanford, dan seorang profesor di Institut Psikologi Transpersonal, serta anggota fakultas afiliasi dari Greater Good Science Center. Penulis “Forgive for Good: A proven prescription for health and happiness” (Harper San Fransisco, 2001) itu memaparkan hasil studi bahwa sifat pemaaf memicu munculnya keadaan baik dalam pikiran seseorang, seperti timbulnya harapan, kesabaran, serta rasa percaya diri. Dengan memaafkan akan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat, dan stres. Sekalipun terasa berat, memaafkan dapat memberikan rasa bahagia tersendiri dan merupakan salah satu akhlak terpuji.
Pandangan serupa juga tertuang dalam jurnal Annals of Behavioral Medicine. Memaafkan, disebutkan mampu menurunkan stres, mengurangi perasaan negatif, dan membantu mengidentifikasi makna dan tujuan hidup.
Sementara seorang profesor di Edinburgh Medical School William Cullen, pernah menciptakan istilah “neurosis”. Dalam ilmu psikologi, neurosis merupakan sebagian dari gangguan yang didasari oleh kecemasan. Gangguan ini umumnya ditimbulkan oleh kepribadian atau kondisi psikis yang lemah atau terlalu kaku dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Manusia yang mempunyai jiwa pemaaf, termasuk memaafkan diri sendiri, dampak baiknya tidak akan mengalami gangguan kecemasan. Oleh karena hatinya lapang untuk memaafkan kesalahan orang lain, sehingga tidak menyisakan amarah dan dendam yang dapat memberatkan hati.
Menuju memaafkan
Dalam interaksi sosial, sudah barang tentu akan menimbulkan gesekan dan percikan konflik. Saling memaafkan sesungguhnya merupakan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial, demi keberlangsungan hubungan yang damai dan harmonis pada jangka lama. Namun banyak orang mengalami kendala dalam upaya bisa memaafkan. Panduan sederhana berikut barangkali dapat mempermudah proses menuju memaafkan.
Tahapan memaafkan:
- Mengakui bahwa ada rasa kecewa, marah, sakit, atau terluka. Jangan berpura-pura baik-baik saja atau tidak mengalami apa-apa demi terlihat tegar dan kuat. Biarkan rasa itu keluar tanpa disumbat, agar terasa lega.
- Memahami, mengapa orang berperilaku demikian. Mencoba menggunakan sudut pandang si pelaku yang telah melukai hati sembari menyelami untuk mengerti. Atau bisa jadi, kita tersakiti oleh persepsi sendiri.
- Introspeksi, karena kita pun dengan atau tanpa sadar bisa melakukan kesalahan yang dapat melukai orang lain. Maka proses introspeksi dapat membantu untuk memaklumi perbuatan orang lain.
- Menerima bahwa hal (menyakitkan) itu telah terjadi dan tidak bisa direka ulang untuk ditiadakan. Maka, cara yang paling mungkin dilakukan untuk tidak merasa sakit berkepanjangan adalah menghapuskan dalam artian memaafkan.
Proses memaafkan, sama halnya dengan membersihkan bagasi hati agar tidak terus membebani. Memaafkan akan melegakan dan menjadikan kita pribadi hebat, sebagaimana pemimpin spiritual India Mohandas Karamchand Gandhi katakan “Orang yang lemah tidak mampu memaafkan. Memaafkan adalah ciri orang yang kuat”. Teruslah menghebat dengan memupuk kebesaran hati dalam menghapus kesalahan orang lain.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023