Tugas utama dai adalah menjaga akidah dan agama umat, bukan malah mengafirkannya karena persoalan khilafiyyah furuiyyah
Jakarta (ANTARA) - Seorang penceramah dalam program pengiriman 500 Dai ke wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Kementerian Agama (Kemenag), Amal Khairat, bercerita salah satu tantangan yang dihadapi saat berceramah di Mentawai, Sumatera Selatan, adalah membereskan persoalan internal umat Islam di sana.

"Selama saya di Mentawai, saya disibukkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat atas tuduhan bid'ah yang dilabelkan oleh sebagian dai terhadap amaliah mereka, sehingga membuat mereka mulai ragu," ujar Amal dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Amal merupakan satu dari 500 orang dai yang dikirim Kemenag ke berbagai wilayah 3T. Mereka memiliki misi memperkuat keagamaan masyarakat serta pemahaman akan moderasi beragama dan kebangsaan.

Amal dikirim ke Mentawai selama Ramadhan 2024 ini. Dipilihnya Mentawai karena punya adat yang berbeda dengan adat Minangkabau, apalagi mayoritas pendudukan di Kepulauan Mentawai adalah non-Muslim. Hanya sekitar 23 persen masyarakat di sana yang beragama Islam.

Semula ia berharap bisa membantu umat Islam di Mentawai memantapkan keislaman mereka. Namun selama tinggal di Bumi Sikerei, harapannya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Baca juga: Dai 3T ungkap masih banyak potensi dakwah di daerah terpencil

Ia mengaku malah disibukkan dengan persoalan internal umat Islam, terutama terkait perbedaan yang bersifat cabang. Umat Islam di sana mengalami kebingungan karena amaliahnya disalahkan dan dibid'ahkan.

Berdasarkan penuturan seorang jamaah, Amal bercerita dulu hampir setiap hari ada kabar orang masuk Islam. Namun sekarang jarang sekali ada kabar seperti itu dan bahkan sebaliknya.

"Dikatakan, salah satu penyebabnya adalah para dai di sana tidak lagi sibuk mendakwahkan Islam. Justru mereka sibuk mengoreksi amalan-amalan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang didakwahkan oleh para dai sebelumnya," kata Amal.

Ia mengaku materi-materi tentang perbedaan cabang dalam Islam (khilafiyyah) menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana materi itu disampaikan tanpa menyinggung dua belah pihak yaitu orang Salafi dan orang non-Salafi. Dalam satu kajian, orang Salafi mempertanyakan tentang hukum merayakan Maulid Nabi.

"Saya jawab bahwa Maulid Nabi bukan persoalan baru dan ini sudah dibahas para ulama ratusan tahun yang lalu. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Kita harus menerima dan saling menghormati karena itu ijtihad ulama," katanya.

Baca juga: Kemenag kirim 500 dai ke wilayah 3T selama Ramadhan, ini tujuannya

Oleh karena itu ia mempersilakan orang yang mau merayakan Maulid Nabi dan tidak mempermasalahkan orang yang tidak merayakannya.

Ia menekankan agar jangan memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Sesuatu yang bersifat perbedaan cabang (khilafiyyah) jangan sampai mengalahkan sesuatu yang wajib yakni persaudaraan, persatuan, dan saling mencintai.

Amal mengajak kepada para semua dai untuk menyampaikan dakwah dengan bijak, mengedepankan sikap toleransi, dan saling menghormati, tidak menyalahkan dan membid'ahkan perbedaan-perbedaan keagamaan yang bersifat cabang (khilafiyyah furuiyyah), dan memahami kondisi masyarakat.

"Tugas utama dai adalah menjaga akidah dan agama umat, bukan malah mengafirkannya karena persoalan khilafiyyah furuiyyah," ujar mahasiswa Program Doktoral Universitas PTIQ dan Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI) Jakarta ini.

Hingga pada akhirnya, ia yang rajin menyampaikan materi tentang persaudaraan, perbedaan, dan toleransi, mendapat sambutan positif dari kelompok yang sering membid'ah-bid'ahkan dan menyatakan siap untuk saling menghormati.

Baca juga: Kemenag buka pendaftaran program 500 Dai untuk wilayah 3T

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024