Dalam tradisi nyadran di Kembangsari, setiap keluarga membawa satu tenong, bakul bundar yang terbuat dari anyaman bambu, untuk mewadahi nasi dan lauk pauk yang biasanya meliputi ingkung ayam, ikan air tawar, telur dan tempe.
Mereka berjalan berombongan menuju lapangan desa sambil membawa selembar daun pisang. Sesampainya di lapangan, mereka menghamparkan daun pisang itu rapat dengan daun pisang keluarga lain, dan meletakkan tenong di sisinya.
Pemuka kemudian agama setempat memimpin doa, dan setelah itu makanan dikeluarkan dari dalam tenong dan ditaruh di daun pisang untuk dimakan bersama-sama.
Kepala Desa Kembangsari Mujiyanto mengatakan nyadran merupakan tradisi tahunan yang dilakukan setiap Jumat pon bulan Ruwah menurut penanggalan Jawa.
"Kegiatan ini untuk memperingati berdirinya Desa Kembangsari, guna menghormati Kiai Ibrahim atau Mbah Jenggot,cikal bakal Desa Kembangsari," katanya.
Ia menambahkan tradisi itu merupakan bagian dari bentuk ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kelimpahan rezeki di Desa Kembangsari.
Desa Kembangsari merupakan tempat tinggal sekitar 1.500 keluarga. Dalam kegiatan ini setiap keluarga membawa satu tenong.
"Kegiatan ini kami laksanakan bersama-sama, intinya untuk mempererat kebersamaan atau kerukunan warga Desa Kembangsari," kata Mujiyanto.
Ia menjelaskan bahwa kegiatan nyadran sudah dimulai Kamis (3/5), ketika warga bersih-bersih makam dan ziarah kubur para leluhur dan malamnya melaksanakan sadranan di dusun masing-masing.
Baca juga:
Awal Ramadan, warga Gorontalo gelar tradisi "ketuk sahur"
Komunitas Muslim Kepaon gelar "megibung"
Pewarta: Heru Suyitno
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019