Data LKPP menunjukkan dari nilai belanja barang dalam APBN yang terus meningkat yaitu Rp2.080,5 triliun (2017), Rp2.220 triliun (2018) dan Rp2.461 triliun (2019) dengan jumlah paket pengadaan 2,228 juta paket (2017), 2,357 juta paket (2018) dan 2,987 juta paket (2019), yang sudah menggunakan transaksi melalui elektronik pada 2018 baru Rp391,9 triliun.
"Jumlah tersebut hanya 37,7 persen dari total belanja barang/jasa pada 2018 senilai Rp1,04 triliun. Padahal dengan menggunakan sistem elektronik, tercapai optimalisasi anggara negara senilai Rp62,01 triliun melaui sistem e-procurement yang berasal dari selisih pagu dan hasil lelang atau totalnya ada sekitar Rp150 triliun pada periode 2015-2018," kata Kepala LKPP, Roni Dwi Susanto, di Gedung LKPP Jakarta, Jumat.
Ia menyampaikan hal itu dalam acara penandatanganan nota kesepahaman antara ICW, LKPP dan Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) untuk mewujudkan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang lebih akuntabel, transparan dan partisipatif.
Dalam Perpres Nomor 16/2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah terdapat Bab X mengenai pengadaan barang/jasa secara elektronik menggunakan sistem informasi yang terdiri atas Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sistem pendukung dengan LKPP menjadi lembaga yang mengembangkan SPSE dan sistem pendukung.
Pengadaan barang/jasa secara elektronik selanjutnya dilakukan dengan memanfaatkan e-marketplace. E-marketplace tersebut menyediakan infrastruktur teknis dan layanan dukungan transaksi bagi
kementerian/lembaga/pemerintah daerah dan penyedia berupa katalog elektronik;
toko daring dan pemilihan penyedia.
"Namun perlu juga sinergitas sistem karena proses korupsi bisa terjadi sejak perencanaan, lalu penganggaran, pengadaan, jadi harus ada satu sistem yang bisa memperbaiki seluruhnya, tidak bisa LKPP sendirian, pakar IT (information technology) dan pihak eksternal harus bisa mempengaruhi bersama-sama," kata dia.
Ke depan, untuk meningkatkan efisiensi dan mencegah korupsi, menurut Roni, perlu ada transfromasi pengadaan yang modern termasuk sumber daya manusianya.
"SDM yang modern baik di kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah apalagi ada dana desa yang makin gencar dan APBN yang meningkat yang separuhnya untuk pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa itu kan tujuannya untuk pelayanan publik dan meningkatkan perekonomian nasional dan daerah, misalnya membuat bendungan harus betul-betul ada sawahnya, airnya terairi, memastikan ada kandungan produk dalam negeri," jelas dia.
Selain itu pengadaan barang dan jasa juga perlu mengikutsertakan usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM) agar bukan saja perusahaan besar yang mendapat kue perekonomian.
"Jadi tidak bisa hanya pengadaan saja yang diperbaiki tapi juga penganggaran yang bagus. Misalnya datang ke LKPP minta tolong adakan barang yang ini, padahal kan bukan LKPP yang butuh tapi seharusnya si pengguna itu entah pemerintah pusat atau daerah, jangan sampai LKPP ikut menjadi bagian yang salah karena mendukung perencanaan yang salah," kata dia.
Namun Roni juga menilai bahwa pengadaan barang dan jasa secara langsung bukan berarti korupsi serta merta terjadi.
"Pengadaan langsung bukan berarti terjadi korupsi karena itu hanya satu mekanisme, tidak efisien juga bila pengadaan senilai Rp10 juta dilakukan dengan tender, tapi ada yang tidak benar juga kalau makanan dan minuman dijadikan tender untuk perusahaan besar padahal kan pemda itu butuh UMKM, ini perlu insentif kemauan politik pimpinan dan dukungan masyarakat," kata dia.
Padahal dengan menggunakan pengadaan barang dan jasa secara elektronik, swasta juga mendapatkan keuntungan dengan efisiensi proses pengadaan.
"Sekali ikut tender secara elektronik, katalog elektronik sudah cukup, dan tidak perlu ada transaksi-transaksi lain di luar itu kecuali kalau memang dia (perusahaan) mau nakal. Secara sistem kita lihat efisensi mengikuti tender, ada multi tender dan multi price, di sisi penyedia barang dan jasanya juga efisien karena diminta bertarung dengan harga dan spesifikasi yang sama sehingga harus bertarung di pelayanan," kata dia.
Koordinator ICW, Adnan Husodo, mengatakan, dengan sistem pengadaan barang dan jasa elektronik seharusnya muncul para pemain baru, namun kenyataannya saat ini belum muncul.
"Dengan e-procurement dan e-catalog asumsinya pemain baru muncul, para pengusaha sektor swasta mulai punya kepercayaan untuk ikut pengadaan barang dan jasa pemerintah dari yang selama ini meyakini harus memberikan sesuatu di proyek. Masalahnya kemajuannya belum terlalu menggembirakan. Pemain-pemain baru yang seharusnya masuk sebagai penyedia barang dan jasa pemerintah belum menjanjikan angkanya, kenapa? Ini yang jadi pertanyaan," kata Adnan.
Ia menduga bisa saja para pemain lama termasuk dalam asosiasi-asosiasi pengusaha pengadaan tetap mengontrol proses pengadan yang menyulitkan pemain baru.
"Ini yang perlu dikaji lagi untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan pemain baru potensial jadi terhambat untuk masuk. Apa karena tetap sama seperti dulu meski sudah pengadaan elektronik tetapi harus pakai uang atau mereka sudah mencoba tapi gagal masuk entah karena dicurangi atau prosedur ada hal lain," tambah Adnan.
Dalam pantauan ICW, tidak kurang dari 40 persen korupsi yang terjadi berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa. Data KPK menunjukkan dari jenis perkara korupsi yang paling banyak disidik hingga 31 Desember 2018, pengadaan barang dan jasa masih menempati peringkat kedua teratas setelah penyuapan.
Namun Roni menegaskan bahwa LKPP tetap optimis terhadap efektivitas Perpres Nomor 16/2018 tersebut.
"Karena tujuannya kan meningkatkan layanan publik, meningkatkan perekonomian nasioanl dan daerah. Sejak awal tahun sampai Juni banyak yang muncul transaksi pengadaan barang dan jasa dan kami sudah membuat surat edaran agar pengadaan barang dan jasa itu benar-benar jadi perhatian untuk kementerian/lembaga. SDM sudah disiapkan, sertifikasi jalan, tinggal manusianya menjadi bagian yang berani untuk ambil bagian karena risikonya tinggi di bagian pengadaan ini," kata Susanto.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019