Perahu kecil itu dikenal dengan nama eretan, dengan ukuran 2X10 meter, yang dioperasikan dengan cara ditarik penghela menggunakan tali baja terpilin (sling) yang dibentang melintasi badan sungai, dan diikat pada kedua sisi, antar wilayah yang saling berseberangan.
Di tengah upaya pemerintah yang terus mengembangkan moda transportasi massal di era modern mulai dari MRT, LRT, rencana pembangunan moda transportasi air yang akan melintas di aliran sungai di Jakarta, hingga regulasi layanan aplikasi ojek daring, ternyata moda tradisional di tengah Jakarta itu masih menjadi wahana favorit bagi warga Jakarta untuk menyeberangi kedua sisi sungai utama di Jakarta itu.
Beberapa warga mengatakan, menggunakan eretan tetap jadi pilihan mereka, karena selain tarifnya murah juga lebih cepat, warga tidak perlu berputar ke jembatan yang sudah disediakan pemerintah. "Waduh kalau disuruh 'mutar' ke jembatan jauh. Naik ojek (biayanya) mahal," kata salah satu warga Jati Pulo,
Sumiyati, yang sudah menjadi langganan tetap eretan di wilayah ini.
Kata dia, kehadiran eretan mempermudah warga untuk melakukan aktifitas sehari-hari.
Rosihin namanya, pria asal Bumiayu, Jawa Barat, sudah 30 tahun menjadi penarik perahu eretan. Ia tak segan untuk berbicara banyak hal dengan para penumpangnya, terutama ibu-ibu yang suka membicarakan banyak hal. Di kampungnya, dahulu masih banyak petani yang memiliki sawah sendiri; kini sudah beda kisahnya.
Pula baca: Jabar usulkan langkah untuk revitalisasi Sungai Ciliwung
Pula baca: Udang mulai terlihat di Ciliwung
Pula baca: Sandiaga ikut lari susur Ciliwung
Para penumpang juga tampaknya sudah mengenal sosok Rosihin, maka berbagai perbincangan seputar gosip kampung pun menjadi 'teman' selama perahu itu berjalan menuju seberang.
Berbekal modal Rp16 juta bersama kedua temannya ia nekat merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Dengan itu mereka memutuskan untuk membuat perahu eretan yang digunakan untuk menyeberangkan penumpang. "Perahu eretan mampu menampung 12 orang," ujarnya. Ia bercerita soal "bisnis kapal eretan" itu di atas perahu eretan-nya.
Hal itu mereka putuskan karena memang sulit mendapatkan pekerjaan saat tiba di Jakarta. Menjadi pengemis tidak terpikirkan mereka. Maka dengan modal dan segala kemampuan yang ada, bersama-sama mereka membuat perahu eretan. Karena modal bersama, Rosihin akhirnya harus berbagi waktu dengan kedua temannya. Ia hanya mengoperasikan perahu eretan-nya per tiga bulan sekali.
"Ini pakai sistem aplusan, sebulan 'narik', dua bulan liburnya. Kebanyakan di kampungnya ya?," katanya, diikuti suara tawanya.
Sementara pekerjaan Rosihin di kampungnya hanya menjadi petani, yang menurut dia, hasil dari bertani sangat kurang untuk menghidupi kehidupan keluarganya termasuk sekolah anak-anaknya.
Bagi Rosihin, mencari nafkah di kota besar lebih baik dibandingkan menunggu hasil panen di kampungnya, karena berdiam diri di rumah hanya akan menghabiskan waktu secara sia-sia.
Untuk tempat tinggal sehari-hari di Jakarta, ia hanya cukup tinggal di dalam perahunya, karena selain irit, perahu tersebut harus mulai beroperasi mulai pukul 04.00 WIB sampai pukul 21.30 WIB.
Menurut Rosihin para warga di sekitar Jati Pulo mulai memulai aktivitas sejak dini hari, mulai dari yang berangkat bekerja hingga hanya sekedar pergi berbelanja di pasar.
Setiap malam tentu saja didalam kapal itu cukup gelap karena tidak ada penerangan di dalamnya. Cahaya hanya mengandalkan bias lampu umum kota. Meskipun hanya bermodalkan lampu umum kota, Rosihin tetap bersyukur karena itu sudah cukup karena tidak terlalu gelap di dalam perahunya.
Tapi sebagai penarik eretan tidak selalu bisa menghasilkan banyak uang. Berbagai hambatan juga sering terjadi, di antaranya musim penghujan yang menyebabkan debit air Kanal Banjir Barat meningkat sehingga tentu saja perahu eretan tidak bisa beroperasi. Hal lain yang sering dialami Rosihin adalah penumpang yang menolak membayar jasanya.
"Kalau air lagi naik ya enggak bisa jalan kapalnya, tapi yang parah itu sebenarnya orang pada naik terus enggak bayar, ditagih enggak mau terus nanti saya di-sambitin," ujar Rosihin. Jelas tidak menguntungkan dan sakit rasanya jika badan terkena lemparan batu dari jauh karena di-sambit itu.
Selain mengoperasikan eretan, Rosihin juga turut serta menjaga kebersihan sungai. Pada saat sepi penumpang, dia mengumpulkan sampah yang melewati perahunya menggunakan jaring ikan.
Sampah yang dikumpulkan akan dipilah. Setiap sampah plastik akan dikumpulkan untuk dibersihkan lalu dijual ke pengepul. Sementara untuk sampah yang tidak bisa didaur ulang akan diberikan ke petugas kebersihan pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang datang setiap pagi.
Rosihin mengatakan, dengan mengumpulkan sampah plastik dia bisa gunakan untuk ongkos pulang ke kampung halamannya. "Lumayan, sekilo(gram) Rp2.000 kalau dijual ke pengepul, uangnya buat ganti ongkos pulang kampung," ujarnya
Mau dikata apa demi menyambung hidup hal itu ia jalani demi anak istrinya di kampung halaman.
Pria dua anak itu mengatakan bahwa dari hasil mengeret perahu dia bisa mendapatkan uang Rp1,5 Juta-Rp2 juta. Uang itu ia gunakan untuk menyekolahkan kedua anaknya di kampung. "Alhamdullilah dari ngeret anak-anak bisa sekolah, yang satu udah lulus SMK, yang satu masih kelas 4 SD," katanya.
Perahu eretan tetap di-eret bolak-balik menyeberangi Sungai Ciliwung dari "dermaga"-nya di kedua sisi sungai itu, dan pemakai jasanya membayar tunai di tempat. Sementara itu berjalan, warga Jakarta juga akrab dengan MRT dan lain-lain sarana transportasi umum.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019