Sejak pemilihan umum pertama pada 1955, baru pertama kalinya pemilu dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD kabupaten/kota dan DPRD Provinsi, serta pemilihan presiden.
Belum lama ini, fenomena menarik terjadi dalam "persaingan" memperebutkan kursi anggota DPD. Profesor Farouk Muhammad melakukan gugatan terhadap “saingannya” seorang wanita, Evi Maya. Farouk melaporkan tuduhan bahwa foto Evi Maya dalam surat suara pemilu anggota DPD “terlalu dipercantik” guna menarik perhatian para calon pemilih.
Apabila selama ini persaingan di antara para calon anggota legislatif lebih banyak dengan alasan telah terjadi pencurian suara secara kuantitatif, maka tuduhan Farouk tersebut sangat kualitatif.
Farouk yang sangat dikenal masyarakat sebagai jenderal purnawirawan Kepolisian Republik Indonesia merasa bahwa foto saingannya tersebut “terlalu diedit” sehingga lebih bagus dari aslinya, guna menarik perhatian calon pemilih di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Karena gugatan ini baru pertama kalinya muncul di Tanah Air, maka bisa jadi KPU atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bahkan Badan Pengawas Pemilihan Umum kesulitan untuk membicarakan dan menyidangkan kasus ini.
Pertanyaannya adalah apakah selama ini berbagai peraturan perundangan seperti UU Nomor 7/2017 juga mencakup pengaturan tentang masalah kecantikan ini serta berbagai peraturan lainnya seperti peraturan KPU?
Karena ini menyangkut masalah kecantikan yang pasti terkait dengan kaum ibu alias wanita maka sangat layak jika berbagai oganisasi kewanitaan seperti Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dimintai komentar atau pendapatnya misalnya definisi "cantik" bahkan “ terlalu cantik”. Kalau Kowani sudah dimintai pandangannya maka berbagai organisasi wanita lainnya juga bisa ditanyai misalnya Fatayat Nahdlatul Ulama (NU).
Tuduhan sang profesor Farouk ini bisa dianggap sebagai gurauan di tengah-tengah keributan poltik di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tapi bisa juga dianggap sebagai masukan bagi DPR bersama pemerintah jika ingin memperbaiki UU Nomor 7/207 tentang Pemilu.
Yang paling harus “diinterogasi” adalah Farouk Muhammad karena sampai sekarang jarang sekali ada perempuan yang mau duduk sebagai wakil rakyat dan berhasil duduk di DPD. Evi Maya adalah saingan berat bagi purnawirawan Polri ini. Setiap provinsi biasanya mempunyai empat wakil di DPD. Salah satu tokoh wanita yang duduk di DPD adalah Ratu Kanjeng Hemas dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan dia adalah istri Sultan Hamengku Buwono ke-10.
Saat ini semakin banyak generasi muda yang populer dengan sebutan kelompok milenial yang berhasil terpilih sebagai anggota DPD, DPR hingga DPRD provinsi, kota serta kabupaten sehingga masyarakat bisa saja berpendapat bahwa tudingan alias anggapan Profesor Farouk Muhammad itu hanya sebagai “alasan” dalam persaingan yang kian ketat ini.
Juga baca: Akademisi: Siapapun presiden akan bekerja untuk rakyat tanpa kecuali
Juga baca: Wakil rakyat kecam perdagangan orang, apapun modusnya
Juga baca: Wakil rakyat minta masyarakat hormati perbedaan pilihan jelang Pemilu 2019
Kasus Taufik Kurniawan
Sementara itu, akhirnya rakyat Indonesia harus mendapat kabar yang lagi-lagi menyedihkan dari Senayan bahwa mantan wakil ketua DPR, Taufik Kurniawan telah dijatuhi hukuman enam tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus penyalahgunaan keuangan di Kabupaten Jember.
Taufik Kuniawan menyusul mantan ketua DPR Setya Novanto yang dihukum penjara belasan tahun akibat terbukti terlibat dalam kasus korupsi pembuatan KTP elektronik. Sementara itu mantan wakil ketua DPR Idrus Marham juga diseret ke meja hijau dalam kasus pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PTU) di Provinsi Riau.
Sedikitnya sudah ada 22 anggota DPR periode 2014-2019 yang diseret ke meja hijau akibat berbagai kasus khususnya tindak pidana korupsi pada berbagai proyek pemerintahan. Entah “setan apa” yang muncul pada benak para wakil rakyat itu sehingga amat tega "makan" uang rakyat .
Para wakil rakyat itu bisa mendapat gaji setiap bulannya hingga Rp60 juta, jauh lebih tinggi dari upah minimum provinsi (UtMP) seorang buruh yang paling banyak Rp3,6 juta per bulan. Belum lagi para wakil rakyat Itu bisa menikmati perumahan dinas misalnya di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan serta berbagai fasilitas yang menggiurkan lainnya.
Memang para wakil rakyat itu harus membayar "setoran" ke partai politik. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah uang gaji yang puluhan juta rupiah itu masih belum cukup juga untuk membiayai istri atau suami, serta anak-anak mereka ?.
Beberapa tahun yang lalu, Ketua DPD, Irman Gusman, harus terjungkal dari kursi emasnya gara- gara ketahuan menerima sogokan yang "hanya" Rp100 juta dari seorang pengusaha di Provinsi Sumatera Barat karena sangat berambisi untuk ditunjuk oleh Perusahaan Umum Bulog untuk menjadi importir gula.
Wakil rakyat harus siap mengerahkan 100.persen jiwa dan raganya bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia apalagi Presiden Terpilih 2019-2024 Joko Widodo telah menegaskan bahwa Indonesia harus sanggup bersaing dengan berbagai negara lainnya.
Pada beberapa bulan mendatang, semua wakil rakyat di DPD, DPR, hingga DPRD provinsi, kota hingga kabupaten bakal dilantik untuk masa bakti 2019-2024.
Pertanyaan yang sangat pantas diajukan kepada mereka semua itu adalah sudah siapkah mental mereka untuk menjadi seorang wakil rakyat yang benar-benar siap mengabdi 100 persen kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sedikitnya 265 juta orang Indonesia?
Sanggupkah para wakil rakyat ini mencurahkan 100 persen pikiran dan tenaganya bagi rakyatnya? Jangan ada lagi nanti ada wakil rakyat yang terkena operasi tangkap tangan alias OTT oleh KPK.
Semua wakil rakyat di Senayan serta semua kantor DPRD harus benar-benar menjadi tempat bekerjanya para wakil rakyat dan bukannya tempat persembunyian pencuri uang rakyat dan negara apalagi bangsa Indonesia harus semakin bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya.
Selamat mengabdi dan berbakti kepada Bangsa Indonesia sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif. Masyarakat tentu berharap jangan ada lagi wakil rakyat yang menyalahgunakan uang rakyat.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA pada 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019