Indonesia berada pada lima besar negara penghasil sampah terbesar di dunia,
Jakarta (ANTARA) - Hari raya, bagi sebagian besar orang di Tanah Air, menjadi momen keberlimpahan atas banyak hal termasuk makanan.

Kondisi itu kerap berdampak pada potensi menumpuknya sampah makanan selepas hari raya. Ini menjadi ironi tersendiri di tengah masih banyak masyarakat di wilayah lain di Indonesia justru mengalami kesulitan pangan.

Oleh karena itu, masyarakat perlu mentradisikan Lebaran selain sebagai momen untuk berbagi juga untuk mengurangi kemubaziran pangan yang justru merugikan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebelumnya memperkirakan saat periode mudik dan balik Lebaran 2024 ada potensi sampah meningkat hingga 58 ribu ton. Maka setiap kepala daerah pun diimbau memperkuat partisipasi publik melalui program "Mudik dan Lebaran Minim Sampah".

Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian LHK, menyampaikan hasil survei angkutan Lebaran 2024 bahwa sekitar 193,6 juta orang melakukan mudik. Mayoritas pemudik melakukan perjalanan dari Jakarta menuju sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Potensi sampah yang dihasilkan ini mencapai 58 juta kilogram atau 58 ribu ton. Potensi ini dihitung atau diperkirakan untuk jangka dua minggu dari arus mudik hingga balik.

Bukan semata dari perjalanan mudik, limbah makanan dari rumah tangga yang tak melakukan mobilisasi ke kampung halaman diperkirakan setiap tahun, jumlahnya juga meningkat drastis.

Memang tradisi makan dan minum saat Idul Fitri selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu setelah sebulan berpuasa. Namun, perlu disadari bahwa berlebihan dalam menyajikan makanan juga bisa berdampak negatif pada lingkungan.

Menurut sejumlah riset, sampah makanan telah menjadi isu serius yang perlu menjadi perhatian bersama.

Di Indonesia, makanan terbukti menjadi penyumbang sampah terbesar dengan jumlah mencapai 25,5 juta ton per tahun, sebanding dengan jumlah penduduknya yang mencapai 280,73 juta jiwa.

Bahkan, Badan Pertanian dan Pangan Dunia PBB (FAO) menyebutkan bahwa sampah makanan turut berkontribusi pada gas rumah kaca, dengan jejak karbon mencapai 4,4 giga ton per tahun.

Menurut laporan Bank Dunia yang berjudul The Atlas of Sustainable Development Goals 2023, pada tahun 2020 Indonesia telah memproduksi 65,2 juta ton sampah.

Fakta ini menempatkan Indonesia berada pada lima besar negara penghasil sampah terbesar di dunia.

Maka Idul Fitri sebaiknya bukan hanya tentang silaturahmi, melainkan juga tentang menjaga Bumi yang harus dicintai semua makhluknya.


Bijak mengelola

Setelah ditelisik lebih jauh, tantangan terbesar mengatasi persoalan sampah, termasuk sampah makanan, di Indonesia tidak jauh dari isu rendahnya kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sampah.

Perilaku menggampangkan sampah masih menjadi kebiasaan kebanyakan orang di Tanah Air. Oleh karena itu, perlu dibangun sebuah gerakan minim sampah yang mentradisikan masyarakat untuk makin bijak dalam urusan sampah.

Masyarakat harus mulai benar-benar menyadari bahwa sampah, khususnya sampah makanan, itu juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca yang menyebabkan kenaikan suhu Bumi.

Tumpukan sampah yang menggunung pada akhirnya menghasilkan gas metana. Sebagai gambaran, 1 ton gas metana setara dengan 28 ton gas CO2 yang mampu menghasilkan emisi gas rumah kaca 28 kali lipat dari gas CO2, yang menyebabkan perubahan iklim.

Isu sampah makanan ini terhadap perubahan iklim menjadi perhatian bersama sehingga PBB pun memasukkannya dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Tepatnya tujuan untuk memastikan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan yang menyebut poin khusus terkait sampah makanan yaitu “mengurangi sampah makanan di tingkat ritel dan konsumen serta mengurangi kehilangan makanan di tingkat rantai produksi dan pasokan, termasuk kehilangan selama pascapanen.”

Sejumlah skenario kemudian diterapkan sebagai upaya Badan PBB untuk SDGs yang benar-benar diharapkan bisa mengurangi jejak karbon akibat sampah makan sebesar 38 persen tiap tahun.

Jumlahnya sekitar 1,4 giga ton atau kira-kira setara dengan gas efek rumah kaca yang dihasilkan Jepang tiap tahun.

Maka dengan kontribusi signifikan sampah terhadap perubahan iklim ini, ke depan benar-benar diperlukan langkah radikal untuk mengatasi persoalan sampah makanan.

Karena, jika dibiarkan dan tak ada upaya yang bijak untuk mengelola sampah maka suhu Bumi akan terus meningkat dan peradaban manusia secara umum bisa terancam.

Terlebih saat Ramadhan dan Hari Raya Idu Fitri di Indonesia, KLHK telah mencatat ada kenaikan jumlah sampah makanan 10-20 persen dari sampah yang dihasilkan masyarakat pada hari-hari biasa.

Langkah konkret pertama yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah sampah makanan adalah tidak menyisakan makanan di piring masing-masing. Karena itu, salah satu gerakan yang dikampanyekan KLHK adalah "habiskan makanan atau makan tanpa sisa".

Langkah berikutnya kalau ada sisa makanan di rumah, maka lakukan komposting di setiap rumah tangga agar mayoritas masalah persampahan di berbagai tempat di Indonesia bisa diselesaikan.

Jika komposting bisa secara konsisten dilakukan di tingkat rumah tangga maka 90-95 persen masalah sampah bisa diselesaikan secara mandiri.

Hal lain yang tak kalah penting untuk menghindari makanan yang mubazir adalah merencanakan menu yang akan disantap.

Langkah ini bisa dimulai dari menentukan resep dan seberapa banyak makanan yang dapat dikonsumsi dalam beberapa hari.

Tak kalah penting, jangan segan  mengolah sisa makanan dan temukan cara untuk menyimpan makanan dengan baik.

Selain itu, biasakan pula untuk berbagi jika ada kelebihan makanan sebagai salah satu upaya membagi kebahagiaan di hari yang fitri sekaligus menjaga Bumi tetap lestari.


 

Copyright © ANTARA 2024