"Pasca-Ramadhan, kita akan memasuki bulan Syawal, yang di awal bulan ini ada hari Raya Idul Fitri, sebuah perayaan kegembiraan dan kebahagiaan. Dalam tradisi di Indonesia, Idul Fitri dimanfaatkan untuk silaturahim kepada sanak keluarga dan para sahabat serta teman sambil saling mengucapkan selamat Idul Fitri dan saling maaf memaafkan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Ia mengatakan jika bulan Ramadhan merupakan waktu yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan Allah SWT, maka Syawal dengan Idul Fitrinya adalah waktu untuk menjalin silaturahim dengan sesama.
"Apakah kita telah sungguh-sungguh dalam melaksanakan silaturahim? Apakah kita telah betul-betul tulus dalam saling maaf-memaafkan? Ini pertanyaan mendasar untuk evaluasi diri sehingga makna Idul Fitri yang identik dengan silaturahmi tidak semata-mata ritual sosial formalitas belaka, seperti halnya upacara-upacara atau kegiatan-kegiatan yang lain yang lebih mengutamakan bentuk formal tapi sangat kering dengan substansi dan makna," katanya.
Ia mengatakan silaturahmi yang bersifat formalitas dapat digambarkan dengan masih adanya dendam di dalam hati, menyimpan kebencian, dan iri hati yang pada akhirnya seperti tidak pernah silaturrahim maupun saling memaafkan.
Selain itu, kata dia, dapat digambarkan pula dengan hubungan masih seperti hari-hari sebelumnya yang suka menyakiti orang lain, gemar memfitnah, rajin menjelek-jelekkan, serta menyalahkan orang lain sehingga seolah-olah dirinya paling benar dan bersih.
"Mengapa kita masih merasa benar dan selalu orang lain yang salah? Analisis seorang ahli psikologi sosial, Les Giblin, dalam bukunya 'The Art of Deaking With People, menyatakan bahwa seseorang akan cenderung menyalahkan orang lain karena ia masih belum mampu mengatasi ketidakpuasan yang menyakitkan diri sendiri. Orang tersebut, yang berarti juga kita termasuk di dalamnya, ada masalah dalam dirinya," kata Anjar.
Menurut dia, orang tersebut juga merasa masih banyak hal-hal yang belum terpenuhi, padahal karunia Allah telah melimpah kepadanya.
"Ini adalah masalah kesyukuran. Rumus sederhananya, makin kita banyak bersyukur, hati kita akan semakin dekat dengan kebahagiaan, dan jika hati sudah bahagia maka relasi sosial kita akan semakin baik, akan selalu berpandangan positif kepada orang lain seperti yang diajarkan Allah dalam Al Quran," katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan meminta maaf dan memberi maaf membutuhkan ketulusan yang didasari bahwa manusia tidak bisa terlepas dari salah dan khilaf.
Menurut dia, tidak ada manusia di muka bumi ini yang tampil sempurna tanpa salah sehingga jika ada orang lain yang bersalah, tidak ada alasan untuk tidak memaafkannya.
"Oleh karena itu, jika ada orang lain yang salah kepada kita, tidak ada alasan untuk tidak memaafkan, karena pada sisi yang lain kita juga pernah salah kepada orang lain. Memaafkan orang lain adalah jalan kita untuk menghapus dosa-dosa kita kepada orang lain. Permohonan maaf kita kepada orang lain adalah bentuk kejujuran kita bahwa kita adalah manusia yang penuh dengan salah karena meminta maaf atau memberi maaf tidak berarti akan merendahkan harga diri kita, justru akan mendudukkan kita pada sisi yang lebih mulia," katanya. ***3***
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019