... Air yang tersedia saat ini tidak sepenuhnya aman untuk diminum, namun warga tidak memiliki pilihan lain. Jika situasi ini berlanjut, kami mungkin akan menghadapi wabah penyakit yang meluas, yang akan kian membebani sistem perawatan kesehatan di G
Jakarta (ANTARA) - Setiap kali fajar menyingsing selama Ramadhan, bulan suci bagi umat Muslim, Emad al-Hadad akan berdiri di trotoar yang telah hancur di Gaza City dengan tatapan tertuju ke ujung jalan.

Pria 43 tahun yang juga ayah dari tujuh anak itu tidak sedang menunggu kedatangan keluarga atau sahabat, namun kargo yang berharga, yakni truk tangki air yang akan melintas di jalanan rusak tersebut. Kedatangan truk itu tidak menentu seperti halnya aliran listrik di wilayah kantong yang terkepung tersebut.

"Mendapatkan air minum yang bersih menjadi perjuangan sehari-hari. Ini terutama terjadi karena kebutuhan air yang mendesak usai azan Magrib, saat warga berbuka puasa setelah berjam-jam tanpa (meminum) air," ujar al-Hadad kepada Xinhua. Suaranya terdengar letih.

Krisis air itu, yang sebelumnya telah parah lantaran blokade bertahun-tahun, kini kian memburuk akibat perang Oktober 2023. Saat pasokan jaringan listrik di Gaza terputus, pabrik-pabrik desalinasi berhenti beroperasi. Padahal pabrik-pabrik tersebut memproduksi air tawar layak konsumsi atau irigasi bagi lebih dari 2 juta warga Gaza.

Setelah publik internasional menekan selama berbulan-bulan, Israel mengizinkan sedikit aliran listrik untuk disalurkan ke pabrik-pabrik desalinasi di Gaza tengah dan selatan. Namun, kelonggaran blokade itu hanya berlangsung singkat. Pemadaman listrik baru-baru ini telah menyeret wilayah kantong itu kembali ke dalam keadaan darurat yang kian parah, dengan meningkatnya permintaan selama Ramadhan yang dibarengi kelangkaan yang mencekik.

Warga mengambil air bersih di Deir al-Balah di tengah Jalur Gaza, 26 September 2024. ANTARA/Xinhua/Marwan Dawood
"Ini menjadi lebih sulit dari sebelumnya," tutur al-Haddad. "Selama Ramadhan, kami membutuhkan lebih banyak air dibandingkan waktu-waktu lainnya, baik untuk berpuasa atau untuk menyiapkan hidangan berbuka dan sahur.

Namun, waktu operasional pabrik desalinasi menjadi lebih singkat, dan jumlah truk tangki air yang datang juga lebih sedikit. Kami tidak tahu berapa lama hal ini akan berlangsung."   

"Kami sedang berupaya melanjutkan (pengoperasian pabrik desalinasi), namun kelangkaan listrik dan bahan bakar menjadikannya sangat sulit. Jika hal ini berlanjut, kami mungkin harus menghentikan produksi sepenuhnya, dan hal itu akan menyebabkan warga tidak memperoleh akses air selama Ramadhan," tutur Abdul Salam Yassin, pejabat di salah satu pabrik desalinasi air di Gaza, kepada Xinhua.

Di seluruh Gaza, keluarga-keluarga saat ini menghemat setiap tetes air. Fasilitas-fasilitas desalinasi, yang beroperasi kurang dari 20 persen dari kapasitas normal, mengalami kesulitan karena kelangkaan bahan bakar dan aliran listrik yang tidak menentu. Truk-truk bantuan kemanusiaan mengirim pasokan secara sporadis, tetapi kalkulasi matematisnya begitu menyedihkan. Pada kenyataannya, mulut yang harus diberi minum lebih banyak, sedangkan sumber daya yang bisa disalurkan lebih sedikit.

 

Warga Palestina mengambil air untuk keperluan sehari-hari mereka selama bulan puasa di tengah reruntuhan di kamp pengungsian Jaballa di Jalur Gaza, 5 Maret 2025. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad
Bagi banyak orang, air yang telah terkontaminasi pun menjadi kebutuhan, sebuah fakta yang memprihatinkan. Laila Abu Hamdan (38), ibu empat anak di Khan Younis, Gaza selatan, menguraikan bahwa dia merebus persediaan air kota yang tidak aman untuk mengurangi risiko terhadap kesehatan. 

"Sebelum keputusan Israel dibuat, saya dapat menyediakan air yang cukup untuk para pelanggan saya," ujar Fadi Abu Snouna (35), pengemudi truk tangki air di lingkungan permukiman Al-Daraj di Gaza City, kepada Xinhua.

"Namun saat ini, saya hanya memperoleh seperempat dari jumlah yang biasa saya terima. Selama Ramadhan, orang-orang membutuhkan lebih banyak air untuk berbuka dan sahur, namun saya harus meminta maaf kepada para pelanggan saya karena air tidak tersedia," imbuhnya.

Kerugian finansial yang ditimbulkan begitu besar. Harga air bersih melonjak lebih dari dua kali lipat sejak meletusnya perang. Keluarga-keluarga seperti keluarga Mohammed Abdullah di Gaza utara kini harus membayar 20 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.428) per pekan. Jumlah itu terbilang tidak sedikit di wilayah kantong tersebut, di mana tingkat pengangguran menurut data terbaru Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tercatat hampir 80 persen.

"Ini beban yang sangat besar, terutama selama Ramadan, ketika kami membutuhkan lebih banyak air untuk menyiapkan hidangan berbuka dan sahur," kata Abdullah (29), ayah dua anak asal Beit Lahia, kepada Xinhua.

 

 

Seorang anak Palestina mengambil air untuk keperluan sehari-hari mereka selama bulan puasa di tengah reruntuhan di kamp pengungsian Jaballa di Jalur Gaza, 5 Maret 2025. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad

Bagi banyak orang, air yang telah terkontaminasi pun menjadi kebutuhan, sebuah fakta yang memprihatinkan. Laila Abu Hamdan (38), ibu empat anak di Khan Younis, Gaza selatan, menguraikan bahwa dia merebus persediaan air kota yang tidak aman untuk mengurangi risiko terhadap kesehatan. 

"Anak-anak saya mengeluh sakit perut, dan saya tahu penyebabnya adalah air yang terkontaminasi," ujarnya. "Namun harga air bersih sudah terlalu mahal."

Para pejabat kesehatan saat ini memperingatkan soal bencana yang mengintai. Khalil al-Daqran, juru bicara otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza, melaporkan lonjakan penyakit hepatitis dan gastrointestinal yang berkaitan dengan air tercemar.

"Air yang tersedia saat ini tidak sepenuhnya aman untuk diminum, namun warga tidak memiliki pilihan lain. Jika situasi ini berlanjut, kami mungkin akan menghadapi wabah penyakit yang meluas, yang akan kian membebani sistem perawatan kesehatan di Gaza yang telah kewalahan," tutur al-Daqran kepada Xinhua.

 

 

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2025